Sitemap

Manusia Hanya Mendengar Apa yang Ingin Ia Dengar

Mengapa kita gampang tersinggung saat respons orang tidak sesuai ekspektasi?

3 min readMar 11, 2025
Photo by on

Kita semua pasti pernah ada di situasi di mana kita berbicara, tapi rasanya seperti ngomong ke tembok. Tidak ada yang mendengarkan, apalagi nanggepin omongan kita dengan serius. Menyebalkan, bukan?

Tapi tunggu dulu. Beneran tidak didengarkan? Atau cuma ekspektasi kita saja yang ketinggian?

Belum menjadi member medium? Klik disini untuk baca versi gratis.

Menurut saya, definisi “tidak didengarkan” bagi manusia itu sebenarnya ada dua:

  1. Benar-benar tidak didengarkan, dalam artian apa pun yang ia katakan dianggap angin lalu oleh orang lain.
  2. Sebenarnya didengarkan, namun respon yang ia dapat dari orang lain atas perkataannya tidak sesuai dengan yang ia inginkan, maka dari itu ia memberi tahu dirinya sendiri bahwa tak ada yang mendengarkannya.

Dalam sangat banyak kasus, yang sebenarnya terjadi adalah yang nomor dua, namun si manusia tetap denial dan bersikeras menganggap bahwa nomor satu lah yang terjadi.

Curhatan yang Berujung Kecewa

Kita ambil contoh sederhana. Nina baru aja diputusin si Asep. Patah hati, dia curhat panjang lebar ke sahabatnya, Ayu. Dalam hati Nina berharap Ayu bakal memeluknya, menanggapi dengan kata-kata penuh empati, mungkin bahkan ikut mencaci Asep habis-habisan.

Tapi, bukannya simpati, Ayu malah berkata:

“Ya bagus lah lu berdua putus. Lagian dari dulu udah gua bilangin, lu nggak usah pacaran sama dia. Lu-nya aja bandel dan kecentilan. Udah, nggak usah mewek-mewek, besok cari lagi yang baru.”

Nina langsung kecewa berat.

“Kamu kok gitu sih?! Kamu tuh temenku apa bukan, kok kamu nggak dengerin aku?!”

Padahal Ayu sebenarnya sudah mendengarkan semua curhatan Nina. Hanya saja, reaksinya nggak sesuai harapan Nina.

Kenapa Kita Cuma Mau Dengar yang Ingin Kita Dengar?

Fenomena ini sering sekali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pertemanan, hubungan keluarga, bahkan dalam debat politik. Kenapa?

Karena manusia pada dasarnya suka mencari dukungan dan pembenaran atas keyakinannya. Ketika orang lain memberikan tanggapan yang tidak sesuai ekspektasi, kita cenderung kecewa dan merasa “tidak didengarkan”.

Misalnya, kalau kita percaya sesuatu itu benar, kita suka sekali kalau ada orang lain yang menguatkan keyakinan itu. Tapi kalau ada yang bilang sebaliknya, kita cenderung menolaknya. Karena menerima pendapat yang bertentangan artinya mengakui kalau kita salah. Dan itu sulit.

Keyakinan yang sudah terlanjur tertanam tadi sulit untuk dihapus seketika. Itu sebabnya orang cenderung bertahan dengan pandangannya. Mengubah pandangan sama artinya dengan mengakui kesalahan / kebodohan dirinya.

Jadi, orang cenderung mendengar apa yang ingin didengar dan melihat apa yang ingin dilihat, bukan untuk “lebih” percaya terhadap sesuatu, melainkan untuk lepas dari perasaan ‘bodoh’ karena meyakini sesuatu yang salah.

Tidak Semua Hal Harus Sesuai Ekspektasi Kita

Kembali ke kasus Nina. Mungkin dia lebih mudah melihat dirinya sebagai korban yang “tidak didengarkan” daripada menghadapi kenyataan bahwa curhatannya mungkin tidak sebegitu pentingnya buat Ayu.

Jadi kalau kamu merasa omonganmu selalu tidak didengarkan atau diperhatikan oleh temanmu, coba sesekali berpikir ulang. Siapa tahu, ternyata selama ini bukan temanmu masalahnya. Jangan-jangan, isu-nya bukan karena dia tidak peduli padamu. Bisa jadi, penyebabnya adalah ekspektasimu terhadap dia ketinggian. Seperti kasus Nina dan Ayu di atas. Nina berharap diberi sebongkah emas, eh.. Ayu malah memberi segenggam pasir. Gonjang-ganjing lah dunia. Padahal Ayu sudah memberi perhatiannya, hanya saja dosisnya tidak sesuai dengan standar si Nina.

Kalau Mau Didengarkan, Belajarlah Mendengarkan

Kalau kita ingin didengarkan, kita juga harus belajar mendengarkan. Jangan cuma menuntut orang lain memahami kita, tapi coba juga memahami perspektif mereka.

Komunikasi bukan cuma tentang berbicara, tapi juga tentang menerima tanggapan dengan terbuka. Kalau kita bisa lebih fleksibel dalam menerima respons orang lain, kita tidak akan mudah kecewa. Jadi, sebelum merasa dunia tidak peduli sama kita, yuk refleksi dulu:

  • Apakah kita sudah benar-benar mendengarkan orang lain?
  • Apakah kita siap menerima jawaban yang tidak selalu sesuai harapan?
  • Dan yang paling penting, apakah kita lebih ingin dimengerti, atau sekadar dikonfirmasi?

Kadang, memahami lebih berharga daripada sekadar “merasa didengarkan.”

Semoga bermanfaat.

Dewi Cahyanti
Dewi Cahyanti

Written by Dewi Cahyanti

Indonesia | Book enthusiast | A mother who loves writing

Responses (1)