Mcb777 Login<![CDATA[Stories by Safa Nabila Lasabuda on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/@safanbl?source=rss-a408041af67d------2 http://cdn-images-1.jeetwincasinos.com/fit/c/150/150/1*83nW9DgoUHHK2UTZf52_3w.jpeg Machibet777 Login<![CDATA[Stories by Safa Nabila Lasabuda on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/@safanbl?source=rss-a408041af67d------2 Medium Tue, 27 May 2025 21:02:31 GMT Machibet Casino<![CDATA[Stories by Safa Nabila Lasabuda on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/komunitas-blogger-m/jangan-cuma-mau-enaknya-aja-154f3083a743?source=rss-a408041af67d------2 http://jeetwincasinos.com/p/154f3083a743 Sat, 10 May 2025 07:02:39 GMT 2025-05-10T07:02:39.553Z Refleksi diri di tengah huru-hara keseharian yang tiba-tiba menghampiri.
Photo by Alex Block on 

Sejak awal seharusnya aku lebih banyak mensyukuri hidup yang kujalani.

Kenapa begitu? Selain karena bersyukur adalah hal penting, kemudahan yang diberikan padaku dalam menjalani hidup jauh lebih banyak dari kesulitan.

Kilas balik di masa sekolah, sejak SD sampai SMA aku hampir selalu menempati posisi teratas di peringkat kelas. Kegiatan belajar mengajar tidak terasa begitu sulit. Kecuali untuk mata pelajaran Matematika, kurasa hanya itu satu-satunya musuh terbesarku di mata pelajaran sampai saat ini.

Begitu juga saat masuk perguruan tinggi. Saat anak-anak lain harus berjuang mati-matian mendapatkan perguruan tinggi impiannya, ikut bimbel persiapan masuk perguruan tinggi, belajar tanpa kenal waktu, aku tidak perlu susah payah melakukan itu semua.

Lulus melalui jalur undangan — artinya aku hanya perlu bergantung pada nilai raporku — membuatku tidak perlu ikut ujian masuk perguruan tinggi. Terlebih aku hanya memilih satu perguruan tinggi dari tiga slot yang disediakan, dan syukurnya bisa lulus.

Walaupun ada beberapa faktor pendukung yang membuatku bisa lulus dengan mudah, tetap saja aku sangat mensyukuri hal tersebut.

Lulus dari perguruan tinggi juga tidak terasa begitu sulit. Syukurnya lagi, aku bisa lulus dalam waktu 3 tahun 5 bulan, tanpa kendala yang begitu berarti. Kalaupun ada, semuanya masih bisa teratasi dengan cukup baik.

Setelah menyandang gelar sarjana, aku hampir tidak merasakan fase “nganggur” karena sebulan setelah wisuda kesempatan untuk magang datang menghampiri. Enam bulan menjalani kegiatan magang, kesempatan untuk bekerja sebagai karyawan juga ikut muncul.

Entah narasi-narasi tersebut kemudian membuatku terkesan sombong karena senantiasa dimudahkan atau seperti apa, akan tetapi rasa syukur juga sudah pasti selalu kuusahakan agar tidak putus-putus kupanjatkan.

Namun di balik semua kemudahan dalam hidup yang kujalani — dimana bagi semua orang mungkin itu adalah impian — aku tidak terlatih untuk menghadapi rintangan dalam hidup.

Selama kamu masih ada di dunia, selalu akan ada rintangan yang harus dilalui.

Dan untuk orang yang jarang berhadapan dengan rintangan tersebut, rasanya seakan-akan dunia sedang berguncang hebat saat menghadapinya.

Bagiku, orang-orang yang hebat justru adalah mereka yang punya banyak pengalaman menghadapi berbagai rintangan.

Tidak mudah memang, dan tentu saja semuanya tidak mau menghadapi rintangan yang sama. Mereka yang menghadapinya barangkali tidak punya pilihan selain menorobosnya.

Keterpaksaan itu, hal-hal tidak mengenakkan dalam hidup, membentuk mereka menjadi sosok yang tangguh.

Wajar ketika pada akhirnya banyak kebahagiaan datang menghampiri mereka. Apa yang sudah mereka hadapi sepadan untuk mendapatkan itu semua.

Tapi aku tidak akan membahas mengenai pemikiran orang tentang “hidupnya bahagia terus, cobaannya dimana, ya?” seolah-olah orang tersebut memang harus melalui cobaan terlebih dahulu untuk mendapatkan kebahagiaannya.

Karena bisa saja hidup orang itu memang sudah di-setting untuk punya porsi kebahagiaan lebih banyak.

Kembali lagi, judul tulisan ini kutulis demikian sebagai pengingat bahwa hal-hal tidak mengenakkan juga ada dalam hidup. Jadi, jangan hanya berharap bahwa hal-hal enak yang akan selalu datang.

Setidaknya meminta kepada Tuhan untuk dimudahkan dalam menghadapi hal-hal tidak enak ini terdengar lebih masuk akal.

Rasa kagum dan hormatku terhadap orang-orang dengan berbagai lika-liku dalam kehidupan yang harus dihadapi sungguh besar.

Ada kalanya aku berharap diberikan kekuatan serupa untuk menghadapi rintangan dalam hidupku.

Mungkin tidak jadi masalah kalau sekali-sekali berpikir bahwa sekalipun hidup memberikan cobaan, harapannya semua cobaan itu bisa “dicobain” dengan baik. Hahaha.

Intinya ya, jangan cuma mau enaknya aja!


Jangan Cuma Mau Enaknya Aja! was originally published in Komunitas Blogger M on Medium, where people are continuing the conversation by highlighting and responding to this story.

]]>
Machibet Live<![CDATA[Stories by Safa Nabila Lasabuda on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/komunitas-blogger-m/apa-yang-tidak-mereka-beritahu-tentang-mudik-bagi-perantau-35c05efc9548?source=rss-a408041af67d------2 http://jeetwincasinos.com/p/35c05efc9548 Fri, 09 May 2025 06:31:35 GMT 2025-05-09T06:31:35.925Z Sebuah catatan refleksi selama 10 hari mudik Lebaran.
Potret kampung halamanku dari jendela pesawat.

Momen lebaran mungkin sudah lama berlalu, tapi pelajaran dan kenangannya selalu membekas tiap saat.

Terhitung sudah tahun ketiga aku merasakan mudik lebaran sejak tinggal di perantauan.

Setiap tahunnya, suasana mudik masih tetap sama.

Bagaimana suasana bandara masih tetap hidup bahkan di saat pesawat yang kutumpangi dijadwalkan berangkat dini hari.

Begitu juga ketika libur lebaran usai, deretan orang-orang mengantri di counter check in dengan jumlah banyak, membuatku harus tiba di ruang tunggu pesawat mepet dari jam boarding sehingga tidak sempat salim secara langsung kepada kedua orangtuaku sebelum berangkat.

Jangan tanya kenapa tidak salim sebelum masuk counter check in, karena huru-hara menaruh barang di bagasi pesawat ini hampir selalu tidak bisa terprediksi.

Meskipun begitu, cinta dan doa mereka tentu saja selalu ada bersamaku kapan pun dan di manapun. Tidak peduli secara fisik terhalang kaca di bandara.

Bagiku, esensi dari merayakan lebaran — terutama sejak menjadi anak rantau — adalah momen kebersamaan saat kumpul keluarga. Momen tersebut jadi berharga karena frekuensi berkumpul yang entah mengapa semakin berkurang.

Barangkali hidup sedang sibuk-sibuknya bagi masing-masing keluarga besar, sehingga kesempatan ini tentu saja sayang untuk dilewatkan begitu saja. Kebersamaan menjadi sesuatu yang menyenangkan dan kerap dinanti-nanti.

Bukan hanya tentang momennya, tapi aku menyadari bahwa ada beberapa hal yang akhirnya coba aku maknai dari berkumpul bersama keluarga. Pada akhirnya, ada pelajaran berharga yang bisa kuambil dari momen tersebut.

Belajar membentuk keluarga dari keluarga yang ada

“Udah siap nikah, nih!”

Celetukan itu datang dari mama dan sepupuku ketika melihat aku dengan sabarnya meladeni anak dari sepupuku yang lain — anggap saja dia keponakanku, lah — dalam ocehannya bermain boneka-bonekaan dengan phone strap dan case handphone-ku sebagai medianya.

Katanya kesabaran mereka setipis tisu untuk meladeni “dongeng” dari keponakanku itu. Tidak ketinggalan juga pertanyaan “Emangnya nggak bosen, ya?”

Sederhana saja, anak kecil senang ketika kita masuk ke dunianya.

Tanpa sadar aku jadi ikut mempraktikkan hal tersebut.

Begitu juga ketika aku berusaha untuk menertibkan keponakanku yang lain, saat dia mencoba bermain-main dengan telepon kamar resort tempat kami sekeluarga menginap.

Cukup diberi pengertian lewat kata-kata, masuk ke dalam dunianya, maka dengan mudah dia akan memahami apa yang seharusnya dia lakukan.

Sama halnya dengan adiknya, aku mengajaknya bermain (walaupun hanya sekedar cilukba saja, tapi pada akhirnya dia berhasil tertawa), kemudian melihat pemandangan di sekitar. Memperkenalkan benda-benda padanya, seolah dia akan langsung paham mendengar penjelasanku.

Barangkali kesabaranku menghadapi bocah yang sedang aktif-aktifnya itu sedang ready stock, langkah awal yang cukup mudah bagiku untuk berinteraksi dengan mereka. Padahal bisa dikatakan aku jarang berurusan dengan bocah-bocah.

Meski kuakui, butuh tenaga ekstra dalam memasuki dunia mereka (yang mungkin bisa jadi alasan untuk hidup sehat, hehehe).

Setidaknya aku jadi dapat gambaran bagaimana kelak nantinya akan mengurus anakku.

Waktu adalah hal yang tak ternilai harganya

Suasana menginap di rumah nenek, beralaskan tikar dan bantal seadanya di ruang tamunya. Momen yang akhirnya bisa kurasakan kembali setelah sekian lama.

Dalam sekejap, para sepupu tahu-tahu sudah tumbuh besar. Menjadi pengingat bahwa seberharga itulah waktu yang berlalu.

Dan tentu saja, anggota keluarga yang pergi meninggalkan kita semua, dijemput ajal terlebih dahulu. Sulit dipercaya kalau mereka yang telah pergi itu di tahun-tahun sebelumnya masih berkumpul bersama.

Memanfaatkan waktu yang tersedia hingga saat ini, hanya itu satu-satunya cara untuk menghargai waktu yang kian hari kian cepat berlalu.

Dan alasan waktu ini yang kemudian menjadikan alasanku “mewajibkan” diri untuk mudik tiap Lebaran, yang sudah pasti selalu kusyukuri bahwa faktanya aku masih diberi kesempatan untuk mudik tiap Lebaran.

Pengennya sih, nggak perlu mudik lagi ya, ongkosnya lumayan mahal juga soalnya, hahaha.

Pada akhirnya, mereka tidak beritahu tentang bagaimana sulitnya menahan rindu sebagai perantau, menunggu Lebaran berikutnya untuk mudik (satu tahun ini bisa jadi sebentar, atau lama, tergantung perspektif masing-masing).

Pada akhirnya, mereka tidak beritahu tentang bagaimana momen mudik Lebaran jadi kesempatan untuk belajar membina keluarga (kalau ini kembali lagi ke perspektif masing-masing, hehehe).

Dan pada akhirnya, mereka tidak beritahu tentang bagaimana Lebaran mengubah pandanganku akan waktu — sesuatu yang benar-benar tidak ternilai harganya.

N.B: Beberapa hari setelah aku masuk kantor, tanpa sengaja aku mendengar lagu dari daerah asalku. Liriknya sukses membuatku harus berhenti mendengarkannya di tengah-tengah karena tidak mungkin aku menangis di kantor perkara rindu kampung halaman, hahaha.


Apa yang Tidak Mereka Beritahu Tentang Mudik Bagi Perantau was originally published in Komunitas Blogger M on Medium, where people are continuing the conversation by highlighting and responding to this story.

]]>
Machibet Bet<![CDATA[Stories by Safa Nabila Lasabuda on Medium]]> http://short.sweet.pub/what-they-dont-tell-you-about-working-6c64f6e94bc8?source=rss-a408041af67d------2 http://jeetwincasinos.com/p/6c64f6e94bc8 Thu, 08 May 2025 07:46:37 GMT 2025-05-08T07:46:37.460Z Adulting life is kinda hard — no, maybe challenging is the right phrase.
Photo by on 

To live my life based on exact pattern is the easiest way for me.

But the situation is not like that anymore, when you start working.

What kind of job that I need to take?

Should I make it as similar as my education background? Or start something new?

All of those decision are all yours to take, to consider, to think about it again.

They don’t tell me that working is not just about doing the same exact pattern everyday in your life. It’s more than that.

Do I really want to do this all over again in my life? Or do I want to do something different instead?

They don’t tell me that working take a big part of your life.

It’s not just about making money for living, but to make your life meaningful by what you do everyday.

Maybe some people choose to just make money. They don’t care if they like their job or not, as long as their needs can be fulfilled.

But I guess it’s not for me.

I want the day I wake up in the morning, being excited with what I’m going to do.

Cause it’s really exhausting to not find something excited in things that take a big part in your life.

I hope we can find our own meaningful life, especially on working — things that sometimes we don’t realize has big impact in our life.

Love writing? 🥰
Join
and discover tools that will make your articles better! ✨

Sweet.pub is a family — 💚 Short, 💙 Long, 💜 Niche, and 🧡 Deep.
Discover the stories that will make your 🤍 beat!

This article was published on May 8th, 2025 in Short. Sweet. Valuable. publication.


was originally published in on Medium, where people are continuing the conversation by highlighting and responding to this story.

]]>
Mcb777 Login<![CDATA[Stories by Safa Nabila Lasabuda on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/journal-kita/dear-mr-umbra-a7b3841caa7e?source=rss-a408041af67d------2 http://jeetwincasinos.com/p/a7b3841caa7e Sun, 23 Feb 2025 13:31:53 GMT 2025-02-23T13:31:53.016Z I hope this letter finds you well.
Photo by on 

Dear Mr. Umbra,

As I write this letter to you, I am still doing great.

I don’t know if you are on the same situation too. But I always pray for your health and of course, your happiness.

Life is getting harder day by day. Don’t be so hard on yourself. Take a deep breath and also take some rest, please.

I have no idea where to start. I even don’t understand why I decided to write this letter to you.

It’s just feels right to write this letter, to tell you clearly about how does it feels like to be with you for years.

It was all unexpected; all of the things we’ve been through.

Do you still remember the first time we met? It was ridiculous. You picked me up in the hospital when I did my medical check up.

It’s obviously weird for some people, like — why didn’t we find another place to met? Well, it doesn’t matter anymore.

Our conversation in the car all the way to college, it was absolutely amazing — but also weird at the same time, though.

Day by day, and year by year, the conversation between us still continue. And I enjoy it, I really do. Oh, except when you always find a way to tease me in the middle of our conversation.

But I still like it, anyway.

Maybe there’s a moment when sometimes it feels like some things don’t fit properly for me.

I ask for clarity, and you explain it in a way that make sense, like you always do.

That’s why I finally choose to believe in you, at least until now.

I learn to not ask for more if it doesn’t really that important for us.

To end this letter, I wanna tell that when life gives us uncertainty, remember that we have each other to hang on.

As your favorite architect said that “I really believe in the idea of the future”, and so do I.

I believe in the idea of us in the future.

Don’t worry. I’m still waiting patiently for the day we finally build our house and make it our “home”.

Let’s do this together, shall we?

Sincerely Yours,

Miss Lux


Dear Mr. Umbra was originally published in Journal Kita on Medium, where people are continuing the conversation by highlighting and responding to this story.

]]>
Machibet Bet<![CDATA[Stories by Safa Nabila Lasabuda on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/komunitas-blogger-m/memulai-kembali-rutinitas-membaca-dan-menulis-a263e418ed6c?source=rss-a408041af67d------2 http://jeetwincasinos.com/p/a263e418ed6c Wed, 19 Feb 2025 04:32:43 GMT 2025-02-19T04:32:43.664Z Rutinitas yang bisa dibilang sudah cukup lama kutinggalkan.
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

Memulai kembali selalu menjadi langkah tersulit dalam hidup. Rutinitas yang sudah lama tidak dijalankan, kemudian diputuskan untuk dijalani kembali, tentu tidak lagi terbentuk dengan mudah.

Termasuk bagiku kebiasaan membaca dan menulis.

Aku senang sekali membaca. Walaupun konsumsi bacaan novel atau cerpen yang mendominasi masa kecilku, aku merasa bahwa aku tetap suka dengan kegiatan membaca.

Hanyut terbawa imajinasi lewat rangkaian kata, dan perasaan yang muncul setelahnya, adalah hal yang paling kusenangi dari membaca.

Pergi ke toko buku, membeli maksimal dua buah buku — jumlah yang dibatasi oleh orang tuaku, adalah momen yang kutunggu-tunggu di akhir pekan.

Kemudian kebiasaan membaca itu mengantarku pada kebiasaan lainnya — menulis. Membayangkan seorang penulis bisa mengajak pembaca untuk hanyut dalam tulisannya membuatku jadi ingin melakukan hal serupa.

Enak yaa, jadi penulis. Bisa ini itu…,

Masih tidak habis pikir mengapa aku sebagai bocah SD menulis status demikian di Facebook. Namun rasanya hal tersebut wajar karena pandanganku akan penulis sebagai profesi yang keren.

Pada akhirnya keinginan menjadi penulis terwujud. Novel pertamaku terbit saat aku duduk di kelas 5 SD. Memantik semangatku untuk menerbitkan buku-buku lainnya, dan seketika terhenti saat SMA kelas 2.

Sampai akhirnya aku menyandang gelar sarjana, belum ada buku yang kuterbitkan hingga sekarang.

Tapi setidaknya pertemuanku dengan platform seperti Medium membuat keinginan untuk menulis secara rutin kembali muncul. Toh, menulis tidak hanya tentang menerbitkan buku saja.

Aku disadarkan dengan konsep free writing yang ditawarkan oleh dari Kak Izzati, salah satu penulis favorit sekaligus panutanku dalam dunia tulis menulis karena beliau adalah pelopor branding “penulis cilik” di zamannya.

Dari Les Nulis ini, aku mempeljari bahwa tulisan yang baik adalah tulisan yang selesai. Namanya juga free writing, jadi teruslah menulis tanpa jeda sampai dirasa sudah cukup.

Kemudian tulisan tersebut diproses lebih lanjut sampai akhirnya menghasilkan tulisan yang lebih baik dari sebelumnya.

Tapi pada intinya, free writing lebih mengedepankan kebiasaan menulis agar kita semakin terlatih untuk menyuarakan pemikiran lewat tulisan.

Seperti otot yang perlu dilatih, skill menulis juga perlu untuk senantiasa dilatih lewat free writing ini.

Tidak ada kesempurnaan yang perlu dicapai dalam konsep free writing. Tulisan tersebut tidak akan pernah selesai kalau yang selalu dicari adalah kesempurnaan.

Pada akhirnya kesempurnaan benar-benar hanya milik Tuhan semata.

Kembali ke kebiasaan membaca yang mengantarkanku ke kebiasaan menulis, kurasa seiring dengan bertambahnya usia, kemampuan membacaku juga butuh untuk senantiasa diasah.

Media sosial memegang pengaruh yang begitu besar dalam kemampuan membacaku. Terbiasa mengonsumsi konten “instan”, belum lagi video berdurasi pendek yang semakin menjamur, secara tidak langsung menggerogoti attention span-ku.

Waktu aku masih duduk di bangku sekolah, rasanya begitu senang untuk menghabiskan novel berpuluh-puluh halaman dalam sekali duduk. Buku-buku dengan halaman tebal sukses kuhabiskan dalam jangka waktu yang tidak begitu lama.

Perbedaan ini perlahan kurasakan ketika aku mencoba untuk menghabiskan buku non-fiksi, rasanya butuh waktu yang lebih lama untuk membaca buku dengan genre tersebut sampai selesai.

Kemudian aku kembali membaca novel dengan tebal sekitar 300-an halaman, novel itu kuhabiskan dalam waktu setahun. Bagiku rentang waktu tersebut terlalu lama.

Bahkan beberapa buku non-fiksi yang kubaca juga membutuhkan waktu hampir dua tahun untuk kubaca sampai selesai.

Semua proses membaca dan menulis ini entah kenapa semakin lama semakin mengalami kemunduran. Sejujurnya aku cukup resah dengan kondisi ini.

Untuk sekedar membaca dan menulis dalam lingkup non-akademik saja aku sudah tertinggal sejauh ini, bagaimana nanti kalau harus membaca dan menulis untuk kebutuhan akademik?

Apalagi dengan kegiatan studi magister yang tengah kujalani saat ini, tentu saja butuh dua kebiasaan ini.

Namun kembali lagi, sejatinya kesempurnaan hanya milik Tuhan semata, maka standar untuk mencapai “kesempurnaan” dalam kebiasaan membaca dan menulis ini seharusnya jangan kupikirkan.

Aku hanya butuh langkah kecil untuk memulai kembali.

Tips menamatkan buku yang sedang dibaca sempat lewat di timeline-ku, aku lupa persisnya timeline media sosial atau Medium. Dua tips yang akhirnya coba kupraktikkan adalah:

  1. Menentukan target halaman bacaan, dan;
  2. Mencoba untuk membaca pada saat sedang menunggu, entah menunggu antrian atau dalam perjalanan di transportasi umum

Untuk menamatkan novel yang sudah kubeli dari tahun lalu, aku memasang target sebanyak sepuluh halaman per hari.

Tapi pada akhirnya aku bisa melampaui target halaman tersebut, paling banyak 30 halaman, lah.

Kemudian aku mencoba untuk memabaca saat sedang menunggu temanku atau saat di kereta. Hal tersebut rasanya jauh lebih bermanfaat daripada sekedar melakukan doom scrolling di media sosial.

Beberapa lembar halaman habis tanpa terasa, waktu yang digunakan tidak terbuang sia-sia.

Apakah kemudian kedua tips tersebut membuatku menjadi semakin rajin untuk membaca buku?

Tidak juga. Sama halnya dengan tips free writing yang juga kuikuti, rutinitas membaca dan menulis ini tidak kulakukan secara konsisten.

Masih menjadi misteri bagiku kenapa kebiasaan yang coba untuk dibangun kembali itu tidak bisa dilakukan secara konsisten.

Aku paham bahwa musuh terbesar di era modern ini adalah instant dopamine, kebahagiaan bisa didapat dengan mudah melalui doom scrolling saja.

Makanya, kebiasaan yang tidak menghasilkan instant dopamine ini kemudian menjadi sulit untuk dilakukan.

Meskipun rutinitas membaca dan menulis tidak membuat ketagihan seperti scrolling media sosial — setidaknya bagiku saat ini — namun tentu saja kualitas yang dihasilkan dari kedua rutinitas tersebut jauh kurasakan dan memberikan perasaan “produktif” dalam menjalani hari.

Yah, semoga kedua rutinitas ini bisa kembali kujalani sesering aku melakukannya di masa lampau.

Barangkali dari kalian ada tips atau insight yang bisa di-share seputar konsisten dalam menjalani rutinitas, terutama membaca dan menulis, silakan tinggalkan pesan di kolom komentar, ya!


Memulai Kembali Rutinitas Membaca dan Menulis was originally published in Komunitas Blogger M on Medium, where people are continuing the conversation by highlighting and responding to this story.

]]>
Machibet Affiliate<![CDATA[Stories by Safa Nabila Lasabuda on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/journal-kita/about-taking-a-break-for-a-while-a4e8ffa512e2?source=rss-a408041af67d------2 http://jeetwincasinos.com/p/a4e8ffa512e2 Sat, 25 Jan 2025 09:07:42 GMT 2025-01-25T09:07:42.842Z
Photo by on 

I don’t realize that taking a break is really important for self-awareness.

For me, life is an unstoppable journey. What I mean by that is life has its own pattern that we need to follow, no matter what. Especially when you see a lot of people doing the same pattern, makes you think that this is what you need to take for living your life.

It feels like I don’t have to analyzing my own decision. They said it was a great path to take, why don’t you start taking the same one too? Or sometimes it will sounds like you should be doing this instead of that, believe me. And I don’t even deny it. Maybe they are right.

Recently, I watch some of YouTube videos talking about “leaving 9–5 job”. Most of them don’t regret the decision they made. They can be in peace and finally found themselves again after they lost it because of job they did.

It doesn’t mean that I plan to do that. But I’m just curious about how they can decide it. To take that one of the biggest decision — at least for me — need a full of self-awareness. Knowing that there’s no income for a while, how they will living their own life, or what they will do to living their life.

I wish, I have that courage to decide big things for my own life.

What I learned about them is to taking a break for a while. They pause what they do, re-thinking their own path, and made decision after a very long consideration. They can’t do that when they don’t take a break for a while.

It’s not that easy, thinking about taking another path when you getting used to your daily routine, but keep questioning your decision to do so. You need to be focus, and you will gain focus by taking a break. You will have more time to figure things out.

I think I need to take a break for a while. But, do I really need that?

Well, I don’t have to quit my job, though. I just need more time to make sure that I do really understand about things I’ve gone through. Or to plan something.

So I will have my own self-awareness, and my life doesn’t feel like being directed by other people.

Have you ever taking a break for a while to decide what you gonna do in your own life?

About Taking A Break for A While was originally published in Journal Kita on Medium, where people are continuing the conversation by highlighting and responding to this story.

]]>
Machibet777 Cricket<![CDATA[Stories by Safa Nabila Lasabuda on Medium]]> http://short.sweet.pub/from-the-very-basic-things-e6f40f3f32d8?source=rss-a408041af67d------2 http://jeetwincasinos.com/p/e6f40f3f32d8 Sat, 18 Jan 2025 08:12:12 GMT 2025-01-18T08:12:12.887Z Sometimes, less is more.
Photo by on 

I love to be simple in every aspect of life.

It’s important for me to understand things from the very beginning — from the very basic.

I have no idea why people tend to make things more sophisticated, but they also forget that basic things need to be prepared well.

We obviously start from the basic things. We learn from the basic things first before being an expert in every aspect.

You need to understand the basic things first, because it’s very important. You can’t go to 100 before start from 0. From the very basic things.

Let’s take a look back to a moment when we start from the very basic things.

We gain more because we master the very basic things.

When we assume that we already know something, but ended up know nothing, we go back to the very basic things to make sure about it.

Remember that you can’t go higher, or achieve more without start from the very basic things.

Love writing? 🥰
Join
and discover tools that will make your articles better! ✨

Sweet.pub is a family — 💚 Short, 💙 Long, 💜 Niche, and 🧡 Deep.
Discover the stories that will make your 🤍 beat!

This article was published on January 18th, 2025 in Short. Sweet. Valuable. publication.


was originally published in on Medium, where people are continuing the conversation by highlighting and responding to this story.

]]>
Mcb777 Cricket<![CDATA[Stories by Safa Nabila Lasabuda on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/komunitas-blogger-m/tentang-belajar-mengambil-keputusan-302718fd0d59?source=rss-a408041af67d------2 http://jeetwincasinos.com/p/302718fd0d59 Fri, 10 Jan 2025 05:41:54 GMT 2025-01-10T05:41:54.950Z Sebagai sosok people pleaser atau tidak dipercaya sepenuhnya, hal ini jadi tantangan tersendiri.
Photo by on 

Tumbuh sebagai sosok yang terbiasa dengan keputusan yang dipilih oleh orang lain, sesederhana baju yang akan dipakai atau dibeli berdasarkan pilihan dari orang tua, atau mengikuti suara terbanyak dari orang-orang tentang menu makan siang apa yang akan dipilih hari ini, membuatku lebih sering tidak punya kepercayaan diri dalam mengambil keputusan.

“Asal orang-orang senang” adalah ciri yang umum dijumpai dari seorang people pleaser, dan aku adalah salah satunya.

Pernah suatu ketika, percakapan dengan kawan dekatku mengalir di sebuah kafe tentang kekurangan dan kelebihan diri masing-masing. Dia menyebut “enggak enakan” sebagai salah satu kekuranganku.

Aku tertawa kecil. Tidak menyangkal hal tersebut.

“Kayak waktu mau milih main di mana, sebenarnya kamu juga bebas buat menentukan kalau punya opsi lain! Kesannya kayak aku ngatur banget gitu, loh” ada penekanan pada tiap kata yang dilontarkannya padaku, membuatku terdiam sejenak dan merenunginya.

Keputusan adalah sesuatu yang krusial bagiku, sekecil apapun keputusan itu diambil. Terbiasa mengikuti pilihan orang lain dirasa paling aman untukku karena aku bisa berlindung di balik pembenaran “kan, yang milih bukan aku” ketika pilihan itu tak berjalan sesuai dengan harapan.

Terkesan seperti pengecut, memang. Padahal ada kesempatan untuk mengambil keputusan yang bisa dilakukan.

Arah hidup bisa diubah dengan keputusan yang diambil. Aku terlalu takut untuk menghadapi kemungkinan bahwa keputusan yang kuambil bisa saja keliru.

Membiarkan orang lain menentukan lewat keputusan yang mereka ambil, padahal mereka juga sama-sama manusia yang tentu saja tidak selamanya mengambil keputusan dengan baik.

Belajar mengambil keputusan memberikan ruang untuk berkembang. Ketakutan yang datang di awal hanya akan menghambat kesempatan tersebut.

Termasuk memberikan kepercayaan sepenuhnya terhadap orang yang akan mengambil keputusan. Selain karena rasa takut, keraguan untuk mengambil keputusan datang dari mereka yang tidak diberikan kepercayaan untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Kondisi yang sering dijumpai pada orang-orang yang lebih tua.

Dengan dalih mereka mengetahui yang terbaik, atau mereka melihat bahwa orang yang seharusnya memutuskan ini tidak punya kemampuan untuk membuat keputusan, mereka bisa mengambil alih jalan hidup orang tersebut.

Tak bisa dipungkiri, pengalaman yang jauh lebih lama tentu membuat mereka punya bekal yang cukup dalam mengambil keputusan. Akan tetapi, faktor-faktor lain tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Pengambilan keputusan adalah perjalanan pribadi tempat setiap orang meracik formula mereka masing-masing.

Pengalaman orang-orang yang lebih tua ini tentu saja bisa dijadikan referensi. Akan tetapi jangan sampai refleksi tersebut membuat orang yang perlu mengambil keputusan ini jadi menerapkan formula hidup yang sama tanpa modifikasi sesuai dengan kebutuhan.

Hal yang kupelajari adalah manusia perlu untuk diberikan kepercayaan. Jangan mematahkan harapan yang sudah mereka pegang untuk mengendalikan hidup mereka sendiri.

Konsep “benar” dan “salah” terkadang bisa jadi subjektif. Pada akhirnya, orang tersebut yang akan menjalani hidup berdasarkan pilihannya.

Lantas, harus mulai darimana untuk bisa belajar mengambil keputusan?

Hal-hal kecil yang kita jalani sehari-hari bisa menjadi kesempatan untuk kita belajar mengambil keputusan. Sesederhana menentukan mau pakai baju apa saat bepergian nanti, atau memilih produk di supermarket saat belanja keperluan harian.

Kemudian kita akan mempelajari atas dasar pertimbangan apa kita memilih hal tersebut dan bagaimana nantinya kita akan bertanggungjawab akan pilihan yang sudah kita buat.

Salah memilih? Salah mengambil keputusan? Tidak masalah, selama kita masih manusia. Beda cerita kalau kamu memang malaikat, walaupun sudah pasti tidak mungkin.

Selalu ada ruang untuk belajar dari keputusan-keputusan yang diambil.

Jadi, mari belajar mengambil keputusan dengan sebaik-baiknya. Dan belajar untuk memercayai orang-orang yang memilih keputusan tersebut dengan seteguh-teguhnya.


Tentang Belajar Mengambil Keputusan was originally published in Komunitas Blogger M on Medium, where people are continuing the conversation by highlighting and responding to this story.

]]>
Machibet Bet<![CDATA[Stories by Safa Nabila Lasabuda on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/komunitas-blogger-m/low-maintenance-friendship-dalam-kehidupan-orang-dewasa-d06ad17bbd7b?source=rss-a408041af67d------2 http://jeetwincasinos.com/p/d06ad17bbd7b Wed, 01 Jan 2025 04:01:43 GMT 2025-01-01T04:01:43.374Z Karena yang selalu dekat belum tentu senantiasa erat.
Photo by on 

Sebagai orang introvert, bisa dibilang kawan dekatku tidak sampai sejumlah jari tangan. Orang introvert memang terkenal dengan quality over quantity.

Mungkin terdengar keren, padahal aku cenderung malas saja untuk berinteraksi dengan banyak orang. Hahaha.

Kalau melihat rekam jejak persahabatan yang terjalin sejak zaman sekolah, tidak banyak dari kawan-kawanku yang masih keep in touch dengan cukup intens sampai sekarang.

Dimulai sejak SD, saat aku beberapa kali harus pindah sekolah. Kawan-kawan yang selalu bersamaku di sekolah perlahan kehilangan kabar. Begitu juga saat SMP, saat giliranku yang ditinggal kawan-kawanku pindah sekolah. Beberapa dari mereka tidak lagi terdengar kabarnya.

Namun bukan berarti hubungan di antara kita memburuk. Hanya saja fase kehidupan yang dijalani masing-masing saja yang sudah berbeda.

Aku mempelajari bahwa butuh kemauan untuk tetap terhubung satu sama lain agar koneksi tetap terjalin.

Fakta bahwa manusia cenderung transaksional dalam menjalin hubungan — artinya butuh kepentingan yang harus mendasari hubungan tersebut — tidak serta-merta membuatku kecewa ketika mengingat beberapa dari kawan-kawanku tidak lagi memiliki usaha untuk menjalin hubungan denganku.

Yang penting nggak berantem aja. Selalu pikirku demikian.

Kemudian aku mengetahui tentang istilah low maintenance friendship. Interaksi yang terjadi tidak harus berjalan setiap hari, menit, bahkan detik. Low maintenance friendship menekankan pada kualitas dari hubungan pertemanan itu sendiri.

Ibaratnya mau berinteraksi sewindu sekali juga, selama interaksi itu berkualitas, tidak banyak yang berubah sejak terakhir kali berinteraksi, maka tidak ada masalah pada hubungan pertemanan tersebut.

Sebagai contoh, aku punya kawan karib sejak SMP yang masih berhubungan baik denganku hingga saat ini. Sebut saja si A dan si B. Frekuensi interaksi yang terjalin di antara kami masing-masing berbeda.

Interaksiku dengan si A tidak se-intens si B. Tapi bukan berarti hubunganku dengan si A tidak baik-baik saja.

Ketika akhirnya kami bisa tinggal berdekatan karena pekerjaan, sudah dua tahun ini kami rutin janjian nonton film favorit kita berdua. Saat bertemu, obrolan mengalir begitu saja tanpa rasa canggung.

Bahkan ketika aku menginap di kos-nya, kami berdua masih menyempatkan diri untuk ngobrol ngalor-ngidul sampai dini hari, padahal besoknya harus mengejar kereta pagi.

Dia juga cerita kalau dia bukan tipe orang yang punya effort untuk reach out duluan, karena apa yang dia jalani saat ini sudah cukup membuatnya terdistraksi.

Tapi di satu sisi, beberapa kali dia membaca kembali postingan blog milikku tentang dia sebagai ucapan “selamat tinggal dan sampai bertemu” saat dia pindah sekolah. Bernostalgia akan kenangan indah pada saat itu.

Kemudian beralih ke B. Sama seperti A, ketika akhirnya aku bisa tinggal berdekatan dengan B karena pekerjaan, kami jadi semakin sering bertemu. Lebih sering dari aku bertemu dengan A.

B adalah tipe orang yang tetap mau berusaha untuk reach out kawan-kawannya. Sesederhana karena dia berpikir bahwa meskipun sudah tidak bertemu kembali dalam jangka waktu lama, mereka tetap kawan-kawan tempat dia bercerita.

Meskipun intensitasnya cukup sering, namun jika dibandingkan dengan orang kebanyakan, dalam setahun kami hanya bertemu beberapa kali saja. Interaksi lewat chat lebih sering terjadi antara kami, walau tidak setiap hari juga.

Chat hari ini bisa dibalas beberapa hari kemudian. Tidak ada masalah dengan itu. Toh, kesibukan yang dijalani masing-masing sudah cukup menyita waktu. Sesuatu dengan sifat lebih penting yang akan diutamakan.

Pada akhirnya, kehidupan orang dewasa membuat low maintenance friendship menjadi sesuatu yang wajar.

Tiap orang punya prioritasnya masing-masing sesuai dengan kepentingan mereka.

Hidup yang mereka jalani membuat perhatian mereka teralihkan dari apa yang biasa mereka lakukan sebelumnya.

Kurasa justru low maintenance friendship membuat hubungan pertemanan terhindar dari drama-drama tidak perlu. Cukuplah hal-hal seperti itu terjadi di masa sekolah saja. Rasanya sudah terlalu tua untuk meributkan hal-hal tidak penting.

Dan kualitas pertemanan tetap terjaga sebagaimana mestinya.

Maka kembali lagi pada prinsip yang hingga kini masih tetap kupegang teguh;

Yang penting nggak berantem aja. Selesai.


Low Maintenance Friendship dalam Kehidupan Orang Dewasa was originally published in Komunitas Blogger M on Medium, where people are continuing the conversation by highlighting and responding to this story.

]]>
Mcb777 APP<![CDATA[Stories by Safa Nabila Lasabuda on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/dunia-kampus/menghidupkan-suasana-akademis-di-perkuliahan-22f4d587cf0a?source=rss-a408041af67d------2 http://jeetwincasinos.com/p/22f4d587cf0a Sun, 29 Dec 2024 01:01:35 GMT 2024-12-29T01:01:35.965Z Bagaimana sebaiknya proses belajar mengajar di perkuliahan berjalan?
Photo by on 

Katanya menjadi mahasiswa adalah setinggi-tingginya kasta sebagai siswa, karena ada kata “maha” dalam kata mahasiswa.

“Maha” identik dengan keagungan, kebesaran, dan yang tertinggi. Kalau merenungi kembali kata mahasiswa, rasanya menjadi mahasiswa seolah menanggung beban yang berat karena tuntutan ekspektasi dari makna dibalik “maha”.

Tapi bagaimana bisa memaknai diri menjadi seorang “maha” dari segala siswa jika peran sebagai mahasiswa masih belum direpresentasikan dengan baik di dalam perkuliahan?

Seseorang mulai menyandang gelar mahasiswa ketika masuk ke jenjang sarjana. Transisi dari seorang siswa menjadi mahasiswa merupakan tantangan tersendiri. Adaptasi diperlukan untuk menyesuaikan dengan ritme perkuliahan yang berbeda dengan sekolah.

Ekspektasi yang kudapatkan dari perkuliahan adalah suasana akademis yang lebih “hidup”. Tentu saja sebagai mahasiswa, tuntutan untuk lebih kritis dan aktif dalam kelas kerap kali digaungkan dosen di awal pertemuan.

Namun nyatanya, hingga melanjutkan ke studi magister pun, sikap kritis dan aktif itu hanya dilakukan oleh segelintir orang saja. Paling orangnya itu-itu lagi. Setidaknya berdasarkan pengalaman pribadiku seperti itu.

Aku pribadi memilih untuk berada di jalur “netral”. Pertanyaan atau jawaban akan kulontarkan sambil melihat bagaimana suasana perkuliahan dalam kelas tersebut berjalan.

Tidak semua hadir untuk sungguh-sungguh menuntut ilmu, paling-paling sekadar menunaikan kewajiban presensi saja.

Daripada dianggap mengulur waktu perkuliahan oleh mahasiswa di kelas, lebih baik pertanyaan atau jawaban tersebut aku sampaikan di waktu yang sekiranya tepat.

Sebagai mahasiswa, kuakui bahwa tidak selamanya aku punya minat untuk terlibat aktif di kelas. Terkadang aku memilih untuk ada di barisan para mahasiswa yang berharap agar perkuliahan cepat berakhir.

Semuanya bergantung pada mood atau perkuliahannya yang kuanggap menarik saja.

Terlepas dari dinamika yang terjadi sepanjang perkuliahan berlangsung, hingga kini aku masih mempertanyakan bagaimana seharusnya proses belajar mengajar di kelas itu berjalan.

Mahasiswa seharusnya punya hasrat untuk menggali ilmu karena ada pertanyaan yang harus terjawab. Sementara dosen seharusnya punya hasrat untuk berbagi ilmu dan memberikan inspirasi kepada mahasiswa.

Tapi dalam konteks perkuliahan, ilmu tidak sepenuhnya datang dari dosen. Mahasiswa dianggap mampu untuk mencari ilmu lewat sumber-sumber lain. Sehingga terjadi diskusi antara dosen dan mahasiswa. Saling belajar satu sama lain.

Akar permasalahannya tentu saja bersumber dari lingkungan pendidikan sejak dini. Tiap orang di kelas datang dengan latar belakang yang berbeda. Dosen-dosen yang mengajar juga punya karakteristiknya masing-masing. Pendidikan yang mereka tempuh tidak sama satu dengan yang lainnya.

Ada dosen yang terlihat pintar, namun tidak memiliki kemampuan transfer ilmu pengetahuan yang mumpuni. Lebih parah lagi, ada dosen yang bahkan tidak mengerti kenapa mereka mengajar. Ini bisa dilihat dari kebiasaan mereka yang hanya memberikan tugas seadanya tanpa dibarengi dengan penjelasan yang baik dari segi materi.

Di satu sisi, mahasiswa dengan otak cemerlang kerap kali mendominasi ruang kelas. Dan terlihat dari deretan bangku bagian belakang, mahasiswa lain dengan atensi yang sudah lari dari proses perkuliahan di kelas. Entah mengobrol dengan teman, sibuk dengan gadget, bahkan memilih untuk tidur.

Sebenarnya sah-sah saja untuk mengantuk, apalagi kalau sudah mendengar penjelasan yang membosankan. Berarti dosennya yang salah strategi mengajar? Enggak juga. Siapa tahu memang yang bersangkutan habis begadang semalaman.

Nampaknya ini bukan persoalan yang bisa terselesaikan dalam waktu singkat.

Kegiatan belajar dan mengajar harus memiliki dasar yang kuat.

Ruang kelas kampus, berisikan mahasiswa dan dosen, dianggap mampu untuk menciptakan suasana akademis di kelas.

Namun pada realitanya, orang-orang yang berada dalam ruangan itu, tidak semuanya mempersiapkan diri untuk menciptakan suasana tersebut.

Jangan-jangan aku juga termasuk salah satu di antara mereka yang tidak mempersiapkannya dengan baik?

Yah, setidaknya aku paham bahwa kegiatan belajar dan mengajar adalah rentetan perjalanan panjang tak berujung.


Menghidupkan Suasana Akademis di Perkuliahan was originally published in Dunia Kampus on Medium, where people are continuing the conversation by highlighting and responding to this story.

]]>