Mcb777 Login<![CDATA[Stories by Reza Fauzi Nazar on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/@rezafauzinazar?source=rss-a1aefdf66cff------2 http://cdn-images-1.jeetwincasinos.com/fit/c/150/150/0*jlgk9yAcAZVNHAGb Machibet777 APP<![CDATA[Stories by Reza Fauzi Nazar on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/@rezafauzinazar?source=rss-a1aefdf66cff------2 Medium Wed, 28 May 2025 00:19:41 GMT Machibet777 Cricket<![CDATA[Stories by Reza Fauzi Nazar on Medium]]>

pembaca adalah pihak yang menentukan makna sebuah teks, dan teks itu sendiri harus dibiarkan berkembang dalam imajinasi pembaca.

]]>
http://jeetwincasinos.com/komunitas-blogger-m/kritik-adalah-keharusan-tanggapan-untuk-tulisan-adrian-farhan-mubarok-4768a089365a?source=rss-a1aefdf66cff------2 http://jeetwincasinos.com/p/4768a089365a Fri, 06 Dec 2024 00:52:21 GMT 2024-12-06T13:15:23.158Z
Machibet777 Bet<![CDATA[Stories by Reza Fauzi Nazar on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/booknotations/mushashi-ini-jalan-pedangku-mana-jalan-pedangmu-3e6a635fa562?source=rss-a1aefdf66cff------2 http://jeetwincasinos.com/p/3e6a635fa562 Sun, 01 Dec 2024 23:29:48 GMT 2024-12-02T00:50:05.703Z Miyamoto Mushashi adalah tokoh sohor di Jepang, ia pendekar pedang terhebat. Tapi, Mushashi yang saya tulis di sini adalah Novel berjudul Mushashi karya Eiji Yoshikawa. Buku itu saya baca sekitar 10 tahun lalu, waktu saya masih kuliah — yang mulanya dikenalkan — atau lebih tepatnya “disuruh” membaca buku setebal lebih 1200 halaman plus hardcover layaknya “kitab suci” oleh salah satu dosen saya saat itu.

Suatu waktu, saya diajak menginap di rumahnya. Disela ngobrol dan diskusi pagi, tiba-tiba saya dipinjamkan buku tebal itu dan diberi kamar khusus. “Baca! Saya dulu baca ini 7 hari selesai, saya tunggu kamu selesai berapa lama. Baca di kamar itu.” Ujarnya. Ah, apa maksudnya ia memberikanku Novel dengan sampul cover bapak-bapak brewokan memegang pedang ini? Bukannya meminjamkan terjemahan Marshall G.S Hodgson The Venture of Islam, justru memberikan novel, mana tebal lagi. Bisa sepertinya dijadikan bantal batin saya. Tapi tentu, tantangan itu saya terima. Saya mulai baca Novel tebal itu di kamar yang dia sediakan, dan selesai dalam 5 hari!

Yang belum berlangganan, baca lengkapnya di sini
Buku Novel Mushashi | Dokumen Pribadi

Membaca Mushashi seperti diajak minum teh bersama seorang samurai tua yang alih-alih langsung cerita soal duel maut, malah mengajak saya berpikir tentang hidup. Buku ini gak cuma cerita soal siapa yang menang atau siapa yang kalah dalam sebuah duel pedang, tapi lebih dari itu. Buku novel yang membuat saya — manusia biasa dengan keruwetan hidup sehari-hari — jadi berpikir, “oh, begini ya harusnya saya menjalani hidup.” Mungkin dosen saya tahu, saya lagi ketiban pusing. Jadi dia memberikan “kitab suci” itu.

Semua dimulai dari Takezo. Pemuda liar, gak punya arah, bawaannya urakan. Kayak kita pas remaja: sok keren, suka bikin masalah, tapi gak tahu mau ke mana hidup ini — lebih tepatnya percis kaya saya waktu itu. Hidup Takezo awalnya memang cuma urusan bertahan hidup dan, tentu saja, adu otot. Panjang kalau diceritakan. Wajar 1247 halaman dong.

Takezo yang hampir mati, tapi dia selamat di pertarungan Sekigahara, jadi buronan warga desanya, sampai akhirnya dia ketemu Takuan Soho. Ya, Takuan ini biksu Zen yang kelihatannya nyeleneh, tapi justru dia yang membuat Takezo jadi keren nantinya. Bukan guru tipe serius yang suka mengajar sambil nunjuk-nunjuk, tapi dia punya cara unik buat membuat orang berpikir.

Ada suatu waktu saat dia memberikan "pelajaran" ke Takezo. Takezo diikat di pohon, ditinggal sendirian berhari-hari buat merenung. Kalau kita di posisi Takezo, mungkin sudah mengamuk sampai lapor ke polisi kalau ada guru yang seperti itu. Tapi justru dari perlakuan Takuan itu, Takezo mulai sadar kalau hidupnya selama ini ya memang berantakan.

Takuan memang mentor yang gak sekadar memperbaiki Takezo dari sisi teknis, tapi dia mengenalkan Takezo konsep yang lebih besar: mengenal diri sendiri. Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu. Barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya. Kalau kita di Takezo yang dulu, mungkin akan bilang, "Ah, peduli amat." Tapi kalau sudah dihantam realitas berkali-kali, baru sadar: mengenal diri sendiri itu langkah pertama untuk gak jadi beban dunia.

Takezo juga dikurung Takuan di dalam kuil selama tiga tahun yang di dalamnya disedakan karya-karya tentang belajar seni pedang. Bagi Takuan, membenahi diri tentu harus dengan disiplin, dan disiplin bukan hanya soal aturan, tapi soal memberi waktu pada seseorang untuk berpikir, merenung, dan akhirnya berubah. Waktu Takuan memberikan hukuman itu, ia bilang:

Kamu boleh membaca sebanyak kamu suka. Seorang pendeta terkenal zaman kuno pernah berkata, “Saya terbenam dalam kitab-kitab suci dan membaca beribu-ribu jilid buku. Ketika saya keluar, hati saya serasa melihat lebih banyak dari sebelumnya.”

Mungkin ini alasan kenapa saya “dikurung” di kamar dan suruh menyelesaikan buku setebal itu. Ah, Sialan!

Setelah itu Takezo akhirnya memutuskan mengubah namanya menjadi Miyamoto Mushashi. Perubahan Takezo jadi Mushashi memang kayak nonton perkembangan hidup sendiri. Dia gak langsung jadi jagoan atau bijak. Dia harus jatuh dulu, kalah dulu, merasa hampa dulu. Kita sering lupa bahwa perubahan sejati membutuhkan waktu. Sebab, jalan hidup yang bermakna tidak pernah sesederhana itu kalau melihat perjalanan Mushashi.

Ia jadi menginspirasi saya sejak membacanya untuk menjadi “ronin” dalam hidup — bukan dalam arti harfiah — samurai tanpa tuan, tapi sebagai orang yang tahu ke mana harus melangkah, meski tanpa peta. Musashi tidak punya peta, tapi ia punya prinsip. Dan itulah yang membimbingnya.

Salah satu momen yang membuat saya berpikir lebih lama adalah waktu Mushashi menang melawan Yoshioka Seijuro. Menang, iya. Tapi ternyata yang dirasakannya kosong. Seijuro jatuh, reputasinya hancur, dan Mushashi mendadak ngerasa, "Loh, kok gini?" Dari situ dia belajar, kemenangan itu gak selalu soal mengalahkan orang lain.

Kadang, menang itu justru soal tahu kapan harus mundur, kapan harus berdamai.

Selain itu Musashi sadar, hidup itu bukan soal cari lawan terkuat dan mengalahkannya, tapi tentang melampaui dirinya sendiri. Musashi yang dulu ingin menjadi yang terhebat kini lebih fokus pada menjadi yang terbaik versi dirinya.

Dan pelajaran ini gak cuma berlaku di pertarungan pedang samurai, tapi di hidup sehari-hari. Berapa kali kita ngotot pengin "menang"? Entah itu di kerjaan, di hubungan, bahkan di adu argumen waktu diskusi, tapi akhirnya malah merasa kosong? Mushashi mengajarkan kita bahwa menang tanpa makna itu hanya buang waktu.

Tapi ya, hidup Mushashi bukan cuma soal pedang. Dia juga belajar cinta. Otsu, si gadis sabar yang, kalau saya jadi dia, mungkin sudah menyerah dari dulu. Otsu cinta Mushashi setulus itu, sampai dia rela menunggu meskipun tahu pria ini gak akan pernah bisa jadi pasangan yang "normal".

Otsu itu tipe yang membuat kita berpikir ulang soal cinta. Dia gak butuh janji-janji manis atau kepastian. Dia cuma ingin ada buat Mushashi meski dari kejauhan. Mushashi sendiri tahu, cinta Otsu itu nyata. Tapi dia sadar, hidupnya bukan buat kenyamanan atau kebahagiaan sederhana. Mushashi memilih jalan sunyi, jalan yang penuh pertanyaan.

Saya, mungkin, gak pernah se-dramatis itu. Tapi dilema bumbu “Cinta” Mushashi dan Otsu adalah dilema yang pada dasarnya pernah dialami: mengejar mimpi atau menetap demi cinta? Dan kadang, tentu gak segampang itu bisa dapat dua-duanya. Kadang, kita harus memilih.

Yang membuat Mushashi ini beda dari novel lain adalah elemen spiritualnya. Ini bukan cuma soal teknik berpedang atau strategi perang. Mushashi belajar bahwa pedang adalah perpanjangan dari jiwa. Dia belajar bahwa untuk benar-benar menguasai pedang, dia harus memahami ritme hidup itu sendiri.

Ada adegan yang saya suka banget. Waktu Mushashi diam-diam mengamati arus sungai, mempelajari pola air, dia sadar bahwa hidup itu seperti sungai. Ada saatnya kita harus mengalir, ada saatnya kita harus melawan arus, tapi semuanya harus dilakukan dengan semacam orkestrasi untuk menciptakan harmoni. Kalau nggak, kita cuma akan tenggelam. Susah memang.

Kita terlalu sering ngotot tanpa mikir, terlalu sering ngelawan tanpa strategi. Padahal, kadang yang kita butuhkan cuma berhenti sejenak, mengamati, dan menunggu saat yang tepat.

Klimaks dari Novel tebal itu ada saat duel Mushashi lawan Sasaki Kojiro. Duel yang bukan cuma soal siapa lebih kuat atau lebih pintar dari keduanya. Ini duel antara dua filosofi hidup. Kojiro, dengan gayanya yang gagah dan pedangnya yang panjang, jadi simbol dari ego dan keangkuhan. Mushashi, dengan gayanya yang sederhana tapi penuh perhitungan, merupakan simbol dari kebijaksanaan dan ketenangan.

Hasilnya, jelas kita tahu (dari judul Novelnya). Kojiro kalah, bukan karena dia gak berbakat, tapi karena dia terlalu percaya pada dirinya sendiri. Mushashi menang karena dia tahu,

Kapan harus menyerang, kapan harus mundur, dan yang paling penting, tahu bahwa duel ini bukan soal ego.

Dan saya rasa, kita memang sering banget jadi seperti Kojiro. Terlalu percaya diri, terlalu fokus sama yang dianggap sebagai kehebatan kita sendiri, sampai lupa bahwa dunia ini lebih besar dari ego kita sendiri.

Akhirnya, apa yang saya dapat dari Mushashi? Banyak. Novel ini mengajarkan saya cara berpikir tentang hidup. Mushashi adalah cerminan dari kita semua: manusia biasa yang penuh kekurangan, tapi terus belajar untuk jadi lebih baik.

Hidup itu gak sempurna, perjalanan kita juga gak akan mulus. Tapi dari Mushashi saya sadar bahwa yang penting adalah terus berjalan, terus belajar, dan terus mencoba memahami dunia.

Dan kalau ada satu hal yang paling saya ingat dari buku ini adalah pelajaran dari Takuan: kadang kita harus diikat di pohon dulu, dipaksa diam, dikurung dulu, diberi waktu merenung, sebelum akhirnya bisa melihat dunia dengan lebih jelas [ ]


Mushashi: Ini Jalan Pedangku! Mana Jalan Pedangmu? was originally published in Booknotations on Medium, where people are continuing the conversation by highlighting and responding to this story.

]]>
Machibet APP<![CDATA[Stories by Reza Fauzi Nazar on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/islam-indonesia/moderasi-beragama-kayak-sudah-sepi-79af214126d8?source=rss-a1aefdf66cff------2 http://jeetwincasinos.com/p/79af214126d8 Sun, 01 Dec 2024 01:03:24 GMT 2024-12-01T01:37:02.367Z Wacana yang Mulai Kehilangan Panggung
Disclaimer: Lagi-lagi ini hanya cuap-cuap, jika dipahami sebagai kritik boleh, tapi tulisan ini sekali lagi ini adalah bagian subjektifitas dan kebenarannya tidak bisa dipastikan. Tulisan ini hanya pretensi untuk mengajak pembaca berefleksi dan merenung.

Pernah ada masanya saya yang punya latar belakang keislaman sebagai santri sekaligus mahasiswa yang juga tergabung sebagai kader dari organisasi ekstra kampus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sama dengan mas Adrian Farhan Mubarok nggak bisa kabur dari pembahasan soal moderasi beragama — Islam yang moderat. Salah satu kajian diskursus Islam yang seksi. Ya, mau buka diskusi akademis, duduk di seminar nasional, sekadar nongkrong di warkop sambil ngopi, hingga obrolan di sekretariat topik ini selalu nongol. Tawasuth, jalan yang berada di tengah-tengah dengan berbagai wacana epistemik yang melatarinya.

Rasanya term ini menjadi satu tren yang viral: digandrungi segelintir intelektual muslim, hingga pelan-pelan diadopsi semua orang. Isu yang memang muncul terhadap respons gelombang besar Islamophobia yang mencuat pasca 9/11, serta “sebagian” kaum beragama kebablasan.

Ingin melanjutkan dan belum langganan di sini ya

Istilah ini dilontarkan dengan nada penuh harap, seolah-olah ia adalah kunci utama yang mampu meredam semua konflik. Tapi gimana sekarang? Kok kayaknya udah nggak serame dulu ya? Semacam meredup dan jarang yang bahas lagi diskursus ini di ruang publik. Apa ini perasaan saya saja? Atau mungkin pandangan saya tidak tepat? Silahkan saya membuka ruang dan boleh dikritisi. Apa memang wacananya udah begitu basi? Atau kita yang sibuk lari ke isu-isu lain yang lebih kekinian? Entahlah, mari saya coba sedikit kuliti dengan subjektifitas pribadi saya sambil ngopi.

Dulu, moderasi beragama ibarat oase di tengah gurun panas ekstremisme dan liberalisme. Konsepnya sederhana: jangan terlalu ke kanan, jangan terlalu ke kiri. Ini bukan ajaran politik, tapi nasihat hidup. Kalau ibarat masakan, moderasi itu seperti sop buntut yang pas bumbunya—nggak terlalu asin, nggak hambar juga.

Lahirnya moderasi ini sebenarnya nggak lepas dari sejarah panjang umat Islam berhadapan dengan dunia modern. Ketika Barat datang dengan modernitas, sekulerisme, dan gaya hidup yang bikin kepala pening, sebagian umat bingung: bertahan dengan tradisi atau loncat ke lokomotif modernisasi? Nah, moderasi muncul sebagai jalan tengah, semacam solusi: "nggak ngambang-nggak tenggelam."

Di Indonesia, moderasi beragama sudah jadi tren besar setelah pemerintah menjadikannya program nasional. Waktu itu, semua elemen masyarakat digandeng: dari tokoh agama sampai pejabat negara, dari pesantren sampai universitas. Semua sibuk bicara soal pentingnya toleransi, melawan ekstremisme, dan menjaga harmoni. Kayaknya semua masalah umat bakal selesai kalau semua orang mau moderat. Ini memang cita-cita bangsa, “Bhinneka Tunggal Ika” — begitu kira-kira.

Photo by on 

Tapi sekarang, sekali lagi, saya rasa tren itu mulai meredup. Diskusi soal moderasi beragama mulai kehilangan pamor. Apa karena persoalannya sudah selesai? Mungkinkah karena sudah tidak ada lagi “lawan utama” yang menjadi common enemy? Atau ini seperti batu akik yang udah lewat masa kejayaannya?

Menurut Zygmunt Bauman, manusia modern hidup di dunia yang cair —liquid society katanya, alias nggak pernah stabil. Hari ini kita ribut soal satu isu, besok mungkin udah pindah lagi ke isu lain. Moderasi beragama mungkin relevan di zamannya—saat konflik ideologi antara Islamis dan sekuler lagi panas-panasnya, saat dimana Huntington mengemukakan tesisnya The Clash of Civilization. Tapi sekarang? Orang-orang lebih sibuk ngomongin hal-hal lain: harga bawang yang terus naik, perubahan iklim, Artificial Intelligence, atau siapa yang jadi nanti kepala daerah setelah perayaan Pilkada, hingga siapa bakalan nyapres lima tahun yang akan datang.

Bahkan di kalangan muslim sendiri, seperti ada pergeseran fokus. Orang lebih peduli sama isu yang lebih konkret dan relate bagi kehidupannya kayak ekonomi misalnya, pendidikan yang lebih baik, atau peran perempuan dalam masyarakat. Isu-isu ini yang terasa lebih praktis dibanding wacana besar yang sering kali cuma berhenti di aula-aula seremonial.

Tapi jangan buru-buru mikir kalau moderasi beragama udah mati, bahkan memvonis saya mengatakan demikian. Bisa jadi, moderasi sekarang udah berubah bentuk. Foucault pernah bilang bahwa wacana itu hidup, berubah sesuai konteks yang mengitarinya. Mungkin moderasi udah nggak lagi jadi topik diskusi, tapi bisa dan memang harus langsung dipraktikkan. Dapat dilihat buktinya di komunitas lintas agama yang bekerja sama, masjid-masjid yang nggak lagi ribut soal perbedaan, Imam Besar Istiqlal dan sekarang jadi Menteri Agama yang waktu itu mencium kening Paus Fransikus, atau pesantren yang mulai terbuka sama ide-ide baru.

Masalahnya, nggak semua orang yakin moderasi beragama benar-benar berhasil. Ada yang bilang, ini cuma jargon dan alat politik—semacam bentuk branding untuk bikin pemerintah terlihat "toleran." Kalau dilihat dari sisi skeptis saya, moderasi beragama sering kali berhenti di level teori. Ia jadi topik yang manis untuk dibahas, tapi sulit diterapkan di lapangan.

Lalu, apa yang harus saya lakukan? Apakah saya perlu "menghidupkan kembali" moderasi beragama? Membuat (lagi) tulisan diskursus dari definisi hingga teori, bahkan analisis mengenai interpretasi dengan bangunan interdisipliner atas konsep “moderasi beragama”? Atau justru membiarkannya saja? Ah, Ini sudah bukan masanya.

Kalau kita mau jujur, moderasi sebenarnya nggak butuh panggung megah. Dia nggak butuh workshop, pelatihan, seminar besar atau program nasional. Moderasi beragama itu seperti pohon rindang: dia harus tumbuh perlahan, dengan akar yang kuat di masyarakat. Moderasi yang sejati, sebenarnya, bukan soal narasi besar yang sering didengungkan di podium, tapi tentang bagaimana kita bisa hidup berdampingan di tengah segala perbedaan.

Moderasi beragama harus bukan lagi cuma slogan kosong yang berputar-putar. Sekarang memang waktunya gak lagi berdebat dan mulai lebih banyak berbuat. Moderasi itu bukan untuk diumumkan, apalagi diperdebatkan, tapi untuk dijalani dalam tindakan nyata, dalam laku keseharian. Terkadang banyak “akademisi” terlalu sibuk mendiskusikan moderasi di ruang publik — penuh retorika yang menggebu, tapi kosong ujungnya.

Jangan sampai kita lupa, bahwa kebersamaan itu tercipta bukan karena semua orang sepakat, tapi karena kita tahu bagaimana menghargai perbedaan dan merayakan keragaman.
Momen Nasaruddin Umar Cium Kening Paus Fransiskus, Dibalas Cium Tangan | sumber: medcom.id

Dan siapa tahu, mungkin ketika kita sudah cukup sibuk dengan kehidupan nyata — bukan lagi terjebak debat tanpa akhir — moderasi akan menemukan jalannya sendiri, kembali hidup tanpa perlu dibahas. Sebab pada akhirnya, tujuan dari moderasi bukanlah untuk dibicarakan, tapi untuk dirasakan. Seperti kata pepatah, “Tindakannya yang lebih penting daripada kata-katanya.” Mungkin, daripada terus-terusan ngobrolin hal yang itu-itu aja, lebih baik nikmati secangkir kopi, biarkan dunia berputar, dan biarkan moderasi itu datang tanpa harus diumumkan. [ ]


Moderasi Beragama Kayak Sudah Sepi was originally published in Islam Indonesia on Medium, where people are continuing the conversation by highlighting and responding to this story.

]]>
chibet Cricket<![CDATA[Stories by Reza Fauzi Nazar on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/dunia-kampus/skripsi-sudah-nggak-relevan-kan-coba-jujur-saja-5ac64524892e?source=rss-a1aefdf66cff------2 http://jeetwincasinos.com/p/5ac64524892e Fri, 29 Nov 2024 12:51:59 GMT 2024-11-29T13:13:22.123Z Skripsi itu apa? Kalau dari definisi akademisnya, ia semacam karya ilmiah terakhir mahasiswa sebelum dia sah jadi sarjana. Tapi kenyataannya, skripsi itu kadang lebih mirip upacara perpisahan. Bukan perpisahan sama kampus, tapi sama akal sehat. Kenapa saya bilang gitu? Karena kalau mau jujur—benar-benar jujur tanpa selubung formalitas ala akademisi sok-sokan—skripsi hari ini itu cuma soal "ngubah dikit judul kakak tingkat," "analisis ngasal," dan "bab tiga ala kadarnya." Nggak ada inovasi. Nggak ada terobosan. Mungkin satu-satunya hal baru dari skripsi kita cuma lokasi penelitian yang pindah dari Kota A ke Kota B. Itu pun kalau dosen pembimbing lagi baik hati.

Photo by on 
Belum langganan dan mau baca versi gratisnya di sini.

Coba saya kasih contohnya dari judul. Coba ingat-ingat judul skripsimu (kalau kamu sudah lulus). Pasti ada elemen-elemen klise seperti “Analisis Pengaruh,” “Studi Kasus,” “Analisis X terhadap Y” atau “Efektivitas X terhadap Y.” Judul kayak gini bukan cuma monoton, tapi juga bikin ngantuk (bagi saya). Dan lebih parah lagi, kadang judul ini tinggal comot dari daftar judul skripsi kakak tingkat yang lulus lima tahun lalu. Analisisnya? Sama. Bedanya cuma subjek penelitian. Kalau kakak tingkatnya meneliti "Kepuasan Pelanggan di Restoran Cepat Saji X," adiknya tinggal ganti jadi "Kepuasan Pelanggan di Warung Tegal Z." Orisinalitas? Novelty? Distingsi? Memang ada?

Lalu, apa yang salah dari semua ini? Banyak. Skripsi, yang harusnya jadi puncak pencapaian intelektual mahasiswa, malah jadi sekadar formalitas administratif. Mahasiswa nggak lagi mikirin kontribusi ilmiah; yang penting lulus. Dosen pembimbing juga nggak bisa disalahkan sepenuhnya. Mereka dibebani tanggung jawab segunung, dari mengajar, penelitian, sampai administrasi. Akibatnya, bimbingan skripsi sering kali cuma jadi sesi koreksi typo, bukan diskusi mendalam tentang gagasan.

Sebetulnya, masalah skripsi ini bukan barang baru. Bourdieu, seorang sosiolog Prancis, pernah ngomongin soal habitus—bagaimana struktur sosial membentuk kebiasaan kita. Dalam konteks ini, budaya skripsi di Indonesia ya mencerminkan habitus yang mengutamakan "prosedur" ketimbang "substansi." Kita ini lebih peduli sama apakah skripsi mahasiswa sudah rapi dan sesuai format, daripada isinya benar-benar relevan atau nggak. Bahkan ada bercandaan: “Yang penting font Times New Roman, spasi 1,5, selesai.” Tragis, kan?

Tapi tunggu dulu. Ada teori lain yang bisa kita pinjam untuk membedah fenomena ini. Michel Foucault, bapak teori kekuasaan itu, mungkin bakal bilang bahwa skripsi adalah alat kontrol. Kampus, sebagai institusi, menggunakan skripsi untuk menegaskan otoritasnya. Mahasiswa, sebagai subjek, harus tunduk. Makanya nggak aneh kalau skripsi kita sering lebih mirip ritual pengakuan: “Lihat, saya sudah memenuhi syarat administratif sebagai sarjana.” Substansinya? Itu urusan belakangan.

Belum puas? Mari kita pakai teori Jean Baudrillard. Skripsi, mungkin baginya (atau menurut interpretasi ngawur saya), adalah simulakra—sebuah representasi palsu yang kehilangan makna. Skripsi tampak seperti karya ilmiah, tapi sejatinya nggak ada apa-apa di dalamnya. Bab satu, bab dua, bab tiga, sampai kesimpulan, semua cuma formalitas. Hasil akhirnya? Skripsi cuma jadi barang pajangan di perpustakaan fakultas dan universitas. Dibaca pun tidak.

Nah, di sinilah kita harus mulai mikir. Apa sebenarnya tujuan skripsi? Kalau cuma buat latihan metode penelitian, ya nggak harus skripsi. Banyak cara lain yang lebih bisa diandalkan. Projek berbasis masalah, misalnya, bisa jadi alternatif yang jauh lebih aplikatif. Atau, kalau mau lebih modern, kenapa nggak bikin tugas akhir berupa portofolio atau penelitian kolaboratif dengan industri? — yang walaupun memang ini jadi logika kapitalisme. Dunia kerja kan sekarang nggak peduli kamu bisa bikin bab tiga atau nggak. Mereka lebih butuh solusi konkret, bukan sekadar bab-baban.

Tentu saja, nggak semua orang sepakat dengan pendapat saya. Ada yang bilang, “Skripsi itu proses pendewasaan.” Tapi coba tanya mahasiswa yang baru selesai sidang. Mereka merasa dewasa, atau cuma lega karena akhirnya terbebas dari revisi? Bagi banyak mahasiswa, (mungkin) skripsi itu bukan perjalanan intelektual, tapi trauma kolektif. SPSS jadi musuh bebuyutan. Referensi jurnal 5 tahun terakhir? Kalau bisa dari Google Scholar aja, biar cepat.

Photo by on 

Jadi, apa yang harus dilakukan dong? Sederhana: reformasi. Skripsi, kalau memang mau dipertahankan, harus berubah jadi sesuatu yang benar-benar bermakna. Kalau nggak, ya mending diganti aja. Toh, pendidikan harusnya tentang mempersiapkan mahasiswa untuk hidup di dunia nyata, bukan sekadar memenuhi tuntutan administratif. Kalau tugas akhirnya lebih relevan, mahasiswa juga lebih termotivasi. Nggak ada lagi yang namanya “judul template kakak tingkat” atau “bab tiga asal-asalan.”

Sebagai penutup, mari kita jujur: “Kenapa harus repot bikin sesuatu yang nggak relevan, kalau bisa bikin yang lebih bermanfaat?” Skripsi, kalau dipikir-pikir, sudah waktunya pensiun. Bukan karena saya atau kita membencinya, tapi karena kita harus mampu mencintai ilmu pengetahuan yang sejati. Dan cinta, seperti yang diketahui, butuh keberanian untuk berubah.


Skripsi Sudah Nggak Relevan kan? Coba Jujur Saja. was originally published in Dunia Kampus on Medium, where people are continuing the conversation by highlighting and responding to this story.

]]>
Machibet Login<![CDATA[Stories by Reza Fauzi Nazar on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/booknotations/berbohong-dengan-statistik-sulap-angka-yang-menipu-realitas-9cc6739b797d?source=rss-a1aefdf66cff------2 http://jeetwincasinos.com/p/9cc6739b797d Thu, 28 Nov 2024 17:24:00 GMT 2024-11-29T03:52:33.363Z Ada sebuah buku tua yang kalau dibaca sekarang, rasanya masih cocok bahkan pas banget di zaman tempat angka-angka jadi bahan bakar propaganda. Judulnya How to Lie with Statistics karya Darell Huff, terbit pertama kali tahun 1954. Jangan terkecoh sama tahun lawasnya. Buku ini seperti mesin waktu yang bisa melompati dekade dan tetap menusuk pikiran dan perasaan di setiap masanya, apalagi kalau kamu baru sadar bahwa angka-angka yang kamu percayai selama ini ternyata cuma “sulap” murah meriah. Ini bukan skeptis! Ini propaganda dan mamerin hasil baca saya aja. Oh iya, buku ini sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh KPG di tahun 2002. Lawas kan?

Buku Darell Huff | Sumber: http://www.incrementaleconomics.com/
Yang mau baca versi gratisnya

Nah, statistik itu ibarat pisau dapur. Ia netral. Di tangan seorang koki, ia bisa jadi alat menciptakan hidangan yang lezat. Tapi, di tangan psikopat? Ya pasti lain ceritanya. Jadi statistik adalah salah satu alat favorit untuk bikin kita percaya bahwa langit itu hijau dan laut itu kering. Darell Huff, lewat bukunya, membeberkan trik manipulasi statistik yang sebenarnya gak terlalu rumit. Saking sederhananya, kita sering gak sadar kalau sudah ditipu mentah-mentah. Dan percaya, angka-angka ini gak cuma dipakai buat jualan produk skin-care yang katanya bisa bikin kamu putih dalam tujuh hari, tapi juga buat ekonomi, politik, bahkan kehidupan sosial kita sehari-hari.

Kita awali dari dunia ekonomi, arena dimana angka statistik paling sering dimainkan — (bahkan jadi primadona di dunia akademik buat penelitian kuantitatif). Kamu pasti sering dengar pemerintah dengan bangga bilang, “Angka pengangguran turun drastis!” Tapi apa yang gak dibilang adalah definisi "pengangguran" itu sendiri. Kalau kamu cuma kerja seminggu sekali—ya mungkin cuma jualan cilok tiga jam di car free day—kamu udah gak masuk kategori pengangguran. Atau kamu nganggur tapi aktif nulis di Medium, saya kira kamu bukan pengangguran. Begitu mudahnya angka ini dimanipulasi hanya dengan main-main di “definisi”. Joseph Stiglitz, ekonom pemenang Nobel, sering bilang bahwa statistik ekonomi seperti ini lebih sering digunakan untuk mendukung narasi tertentu daripada benar-benar mencerminkan kenyataan.

Ambil contoh statistik pendapatan rata-rata. Ini salah satu angka yang paling sering bikin kita merasa sejahtera (padahal enggak). Kalau pendapatan rata-rata naik, pemerintah langsung tepuk tangan sendiri. Tapi tunggu dulu, siapa yang bikin rata-rata naik? Kalau satu orang super kaya dapat gaji setara PDB negara kecil, ya angka rata-ratanya pasti ikut melonjak. Tapi, apa kamu jadi lebih kaya? Belum tentu. Ini yang bikin Stiglitz bilang kalau statistik sering cuma bercerita separuh kebenaran—separuh lainnya, ya bohong.

Photo by on 

Hal serupa juga terjadi di politik. Manipulasi statistik di sini bahkan lebih licin daripada belut kena minyak kelapa. Ada survei yang bilang “80 persen masyarakat puas dengan pemerintah.” Tapi coba lihat lebih dekat: siapa yang disurvei? Di mana lokasinya? Apakah mereka yang ditanya yang kena penggusuran untuk kereta cepat? Statistik dalam politik itu seperti sulap yang memanfaatkan bias kognitif kita. Kalau kita lihat angka besar, kita langsung percaya tanpa tanya-tanya lagi. Padahal, angka besar itu sering kali cuma hasil kreatifitas memilih sampel yang "ramah" pada narasi tertentu.

Jean Baudrillard, filsuf yang dikenal dengan teori simulakra, pasti bakal manggut-manggut kalau melihat ini. Statistik, mungkin kata Baudrillard, sering kali gak lagi mencerminkan kenyataan. Sebaliknya, ia menciptakan kenyataan baru—simulasi yang bikin kita percaya dunia ini baik-baik saja. Ketika kita dengar “80 persen masyarakat puas dengan kinerja pemerintah,” kita cenderung percaya bahwa hidup ini damai sentosa. Padahal, bisa jadi 80 persen itu cuma kumpulan dari survei kecil di satu RT yang kebetulan ketua RT-nya fans berat kepala daerahnya, atau presidennya.

Kalau mau lebih ngilu lagi, coba tengok manipulasi statistik di bidang sosial. Di sinilah statistik benar-benar jadi alat buat menggiring opini. Ketika media bilang, “Kriminalitas naik 50 persen,” kita langsung panik. Padahal, naik 50 persen dari apa dulu? Kalau kasus awalnya cuma dua, terus jadi tiga, ya itu memang naik 50 persen, tapi konteksnya kecil banget. Tapi siapa peduli soal konteks? Angka "50 persen" terdengar lebih menakutkan daripada “tambah satu kasus.” Ini bias manusia yang suka banget sama angka-angka besar, tapi malas mengulik maknanya.

Lalu, kenapa statistik sering banget dipakai buat menipu? Karena statistik itu terlihat pintar. Angka punya daya magis yang bikin kita percaya tanpa banyak tanya. Kalau orang bilang, “70 persen pelanggan puas dengan produk kami,” kita jarang bertanya, “Dari mana angkanya? Berapa orang yang disurvei? Siapa yang ngisi survei?” Kita terlalu sibuk dengan keajaiban angka “70 persen” sampai lupa menggali lebih dalam.

Manusia itu makhluk yang hidup dari cerita kalau kata Yuval Noah Harari — dan — Statistik, pada dasarnya, adalah cara paling ampuh untuk menciptakan cerita. Sebuah angka bisa menggambarkan narasi yang kita inginkan. Mau bikin suasana kota aman, tinggal bilang saja angka kriminalitas turun. Tapi kalau kita ingin bikin cerita tentang kota yang bahaya biar muncul proyek baru, tinggal cari sudut statistik lain aja. Angka itu elastis. Ia bisa dibengkokkan, dibesar-besarkan, atau dikecilkan sesuai kebutuhan.

Tapi jangan buru-buru menyalahkan statistik. Statistik itu saya bilang sekali lagi: netral. Ia gak pernah punya niat jahat. Yang jahat itu adalah orang yang memanfaatkan statistik untuk kepentingan tertentu. Statistik itu alat. Sama seperti palu. Kamu bisa pakai palu buat bikin rumah, tapi palu juga bisa kamu pakai buat mukulin orang.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan biar gak jadi korban statistik abal-abal? Pertama, selalu skeptis. Kalau kamu lihat grafik yang keliatannya dramatis, periksa lagi skala grafiknya. Grafik itu bisa terlihat "wow" hanya karena skalanya dipotong. Kedua, pelajari konsep dasar statistik. Kamu gak perlu jadi ahli, tapi setidaknya tahu bedanya mean, median, dan modus. Ketiga, jangan percaya begitu saja pada angka besar. Selalu cari konteksnya. Tanya, "Angka ini sebenarnya mewakili apa?"

Statistik, sekali lagi menurut Darell Huff dalam bukunya bisa jadi alat yang luar biasa buat memahami dunia. Kalau digunakan dengan jujur, dia bisa jadi kaca pembesar yang membantu kita melihat segala hal yang selama ini tersembunyi. Tapi, kalau disalahgunakan? Wah, bisa-bisa jadi pisau bermata dua yang bisa membunuh logika tanpa kita sadari. Dan yang lebih parah, dunia memang sekarang penuh banget sama angka-angka yang berusaha meracuni cara kita berpikir. Terbukti ‘kan, statistik sudah jadi senjata paling ampuh buat mengubah opini publik, menjelaskan segala hal yang gak jelas, atau bahkan mengubah kenyataan jadi lebih ‘enak’ buat dikonsumsi.

Buku terjemah Darell Huff cetakan awal oleh KPG

Jadi, lain kali kalau liat angka yang kelihatan kayak jawaban dari semua masalah dunia, coba tanya sama diri sendiri: “Emang bener ini? Atau cuma cerita manis yang dibungkus angka biar lebih sakral?” Karena kalau kita gak hati-hati, bisa-bisa kita terjebak jadi korban statistik yang cuman ‘setengah jujur’. Dan kalau soal kebohongan, mungkin kita sudah sering dengar yang katanya: “Ada tiga jenis kebohongan di dunia: kebohongan biasa, kebohongan besar, dan statistik.” Jangan salah, pepatah ini gak salah kok. Bahkan, bisa jadi kita sering banget tertipu sama statistik yang cuma mengandalkan angka tanpa memberikaan kita gambaran yang sebenarnya.

Tapi tenang, sekarang kita gak perlu takut lagi. Kita sudah punya senjata yang lebih ampuh buat melawan kebohongan-kebohongan yang dibungkus statistik. Kita sudah punya cara buat baca statistik dengan kepala dingin dan gak gampang terjebak dalam permainan angka yang cuman nyari keuntungan buat pihak tertentu.

Jadi, kalau kamu sudah mulai merasa statistik ini semakin gak jelas arahnya, mungkin ini saatnya kita gak cuma jadi penonton, tapi juga pemain yang paham betul cara memainkan angka-angka itu. Karena, akhirnya, statistik itu bukan cuma soal angka. Itu soal cerita. Dan cerita yang paling seru adalah cerita yang bisa kita pahami dengan kepala dingin, tanpa perlu takut tertipu sama angka-angka yang terlihat terlalu cantik untuk jadi kenyataan. Sekarang, giliran kita buat membongkar rahasia di balik statistik yang selama ini mengecoh kita. Jadi bagaimana? Mau bongkar rahasia perhitungan Quick Count? [ ]


Berbohong dengan Statistik: Sulap Angka yang Menipu Realitas was originally published in Booknotations on Medium, where people are continuing the conversation by highlighting and responding to this story.

]]>
Mcb777 APP<![CDATA[Stories by Reza Fauzi Nazar on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/@rezafauzinazar/menulis-di-medium-sebenarnya-pelarian-dari-banalitas-yang-membosankan-7d7b65d23758?source=rss-a1aefdf66cff------2 http://jeetwincasinos.com/p/7d7b65d23758 Thu, 28 Nov 2024 16:28:10 GMT 2024-11-28T16:30:28.779Z Spoiler alert: ini hanya cuap-cuap. Bukan clickbait

Begini ya, jujur saja. Jadi dosen itu, kalau dari luar, kesannya keren dan sesuatu banget. Semacam strata sosial pekerjaan yang prestisius, gedung kuliah mentereng, gaji yang mungkin sebagian orang pandang cukup besar, sebagai pusat laboratorium pengetahuan, dari mengajar mahasiswa, seminar-seminar, conference hingga publikasi di jurnal internasional. Tapi begitu dijalani? Lah kok ya rasanya kayak jadi kuli intelektual. Pokoknya, hidup saya harus “sesuai template.”

Pada arus rutinitas tukang parkir yang cuma bisa maju — mundur “tapi gak cantik” — saya merasa menulis memang sudah menjadi pelarian dari banalitas itu. Yang pasti bukan menulis jurnal, karena itu emang sudah jadi “kewajiban” dosen — yang kadang jujur saja, saya malas membuatnya. Di tengah kebanalan itu — menulis bagi saya seperti minum kopi di pagi hari: wajib hukumnya, tapi kadang terlalu pahit untuk dinikmati.

Photo by on 

Buat yang belum langganan dan mau baca lengkapnya di sini

Menulis yang saya lakoni itu sering tulisannya sebagian ada yang diarsipkan di laptop dan sebagiannya akan dikirimkan di beberapa media-media keislaman, media opini seperti geotimes atau kumparan, bahkan beberapa kali saya sempat tuliskan di laman Facebook atau Instagram (maklum dan wajar saja, karena saya produk milenial).

Tulisan-tulisan itu saya anggap seperti anak angkat yang akhirnya punya tempat berlabuh. Dan dari tulisan-tulisan itu, ada satu ritual yang tidak kalah penting: membagikan tulisannya di status WhatsApp. Ah, status WA, hal yang paling mudah. Bentuk narsisme yang tidak terlalu mengancam, tapi tetap cukup eksistensial. Yang setidaknya mau bilang: saya tidak semekanik dan sebanal itu. Saya masih cukup waras untuk menulis.

Berawal dari narsis intelektual saya itu, mulailah takdir saya yang mempertemukan untuk sampai pada menulis di sini terjadi. Adrian Farhan Mubarok (biasa dipanggil: Jodi), teman saya yang lebih sering terlihat nongkrong daripada bekerja, entah bagaimana, waktu itu yang mungkin punya “jiwa penulis” ingin mencoba untuk meluapkan gagasan-gagasannya di media tempat tulisan-tulisan saya sempat mejeng, “Saya juga nulis.” Katanya. Dan dia benar-benar menulis. Awalnya tulisan-tulisannya itu dia kirim di mojok.co, hingga kumparan, juga sempat ia kirim ke kolom opini regional. Keren juga batin saya. Dan iya, selang beberapa waktu kemudian dia menulis di sini di Medium. Saya tahu dari ritual yang biasa saya lakukan itu. Dari status WA dia.

Photo by on 

Medium, Platform yang — emang udah cukup lama saya tahu, tapi jujur, waktu itu saya belum nyamplung karena masih didominasi penulis asing. Cuma, dari Jodi saya tahu kalau Medium sudah punya lapaknya sendiri buat penulis Indonesia. Iya, semacam tempat orang bisa nulis apa saja sepuasnya tanpa harus takut kena catatan revisi reviewer kayak di publikasi jurnal atau dapur editor yang ketat buat media-media bonafit.

Medium mungkin seperti kafe baru (bahkan sudah lama) yang tiba-tiba ramai dibicarakan orang. Kita tahu keberadaannya, tapi malas mencoba karena takut harga kopinya mahal atau tidak sesuai ekspektasi. Padahal Medium sesungguhnya ibarat kafe kecil di pinggir kota. Nggak mewah, nggak terlalu ramai, tapi punya vibe yang bikin nyaman. Tempat ini bisa jadi pelarian pas dari monotonitas kerjaan saya yang mekanis dan banal itu.

Menulis di sini saya bebas. Mau nulis pakai gaya sok serius? Kayaknya bisa, cuma emang belum saya lakukan aja. Mau curhat ngalor-ngidul tentang hidup dan kerjaan? Juga udah, dan mungkin salah satunya tulisan ini. Mau selipin teori Rietzer, Gadamer, hingga Bourdieu, sambil bercanda? Mungkin bisa saja ada yang suka — atau mungkin enggak, gak jadi soal sebenarnya buat saya.

Alasan lain kenapa saya jadi rutin nulis di Medium juga mungkin bisa cukup penting kayanya: duit. Ya, duit. Jadi gini, satu hari, Jodi yang sudah rajin posting tulisan di Medium memposting status di WA: Terlihat screenshot laman Medium Partner Program (MPP) milik dia earning pundi-pundi dolar. “Tipis-tipis” captionnya. Tentu itu mengusik ego intelektual saya. Jangan salah, saya bukan matre. Sejujurnya, saya tidak pernah benar-benar peduli pada uang dari menulis. Tapi mendengar Medium membayar dengan MPP (Member Partner Program), kok saya pengen coba ya. semacam kayak FOMO gitu kalau bahasa sekarang. Gak apa-apa FOMO — ini kan, kalau kata Max Weber, era kapitalisme rasional. Kalau bisa menulis dan dibayar, kenapa tidak? Bukankah itu The Protestant Ethic?

Uangnya memang nggak segede gaji honor nulis opini di koran Nasional satu kali terbit lah, bahkan belum tuh saya lihat pergerakan dollar yang signifikan (mungkin karena saya baru 5 hari), tapi tetap saja, ini jadi bentuk apresiasi.

Alasan paling kuat saya akan bertahan di Medium sebenarnya bukan soal uang. Ada sisi lain dari cerita ini. Media sosial gen Milenial seperti Facebook dan Instagram perlahan, bahkan sudah lama saya tinggalkan. Saya sudah jarang posting di kedua media itu (silahkan dicek). Facebook, misalnya, kini ibarat pasar tradisional yang mulai sepi pembeli dengan Facebook Pro nya yang bikin saya geleng-geleng kepala, sementara Instagram lebih mirip pusat perbelanjaan yang ramai dengan orang jualan tapi minim ruang ngobrol. X, kalau kata Adrian Farhan Mubarok itu tempatnya ramai dan bising.

Nah, Medium, di sisi lain, menawarkan pengalaman baru: sebuah komunitas penulis dan pembaca yang sama-sama lapar akan gagasan segar. Saya baru beberapa hari di Medium ini, dan saya sudah temukan bermacam-macam genre tulisan. (sangat beragam, bahkan ada yang clickbait)

Coba bayangkan, kalau Marshall McLuhan hidup dizaman sekarang, dia pasti bakal ngomong gini: “Kalian tahu nggak, media sosial itu bukan cuma tempat buat kalian nulis status atau upload foto, tapi justru di situlah cara kalian berpikir dan berinteraksi dengan dunia dipengaruhi. Medium-nya, bukan isinya, yang bikin semua itu jadi rame, bahkan merubah cara kita nyari perhatian.”

Jadi, Medium, mungkin adalah tempat buat nyari kedamaian di tengah kebisingan dunia maya, tempat di mana tulisan dihargai bukan karena foto estetik atau clickbait, tapi karena ide yang beneran dipikirin, yang bisa bikin orang mikir lebih dalam. Ya, kayak perang kecil buat melawan dunia yang lebih suka tampilan daripada substansi.

Tempat ini seperti punya kamar sendiri. Bedanya, kamar ini bukan hanya untuk sendiri, tapi juga untuk berbagi — berbagi ide, opini, hingga keluh-kesah. Dan yang membuatnya menarik: pembaca di Medium bukanlah teman-teman yang asal memberi claps karena kenal, melainkan orang asing yang benar-benar peduli pada apa yang kita tulis. (untuk tulisan Jodi tentang “Apakah Anda Pernah Merasa ‘Medium’ Menjadi Ruang Tanpa Perdebatan?” nanti akan saya tanggapi khusus) — karena Medium bukan hanya tentang menulis untuk pembaca. Ini tentang menulis untuk diri sendiri.

Yang pasti, dalam banyak hal Medium membantu saya melihat kembali gagasan-gagasan lama saya dengan perspektif baru. Setiap tulisan adalah refleksi, dan setiap refleksi adalah cara untuk memahami diri sendiri. Tentu, teman saya itu punya andil besar dalam perjalanan menapaki Medium. Kalau bukan karena dia, mungkin saya belum membiasakan menulis di sini dan mengenal media ini lebih dekat.

Akhirnya, menulis itu bukan hanya soal narsisme. Menulis adalah cara untuk terhubung — bukan hanya dengan orang lain, tapi juga dengan dunia yang lebih luas. Lalu bagaimana soal uang? Ah, uang itu hanya bonus. Memang, ada kepuasan tersendiri saat melihat pendapatan dari Medium bertambah, meskipun tidak signifikan. Tapi yang lebih penting adalah rasa dihargai. Di Medium, semoga setiap tulisan saya memiliki nilai, bukan karena siapa saya, tapi karena apa yang saya tulis.

Dan itulah alasan utama sekarang saya rutin menulis di Medium. Ini bukan hanya soal platform atau pembaca. Ini tentang menemukan kembali rasa dari menulis: menyampaikan gagasan, mendapatkan pembaca, dan — yang paling penting — merayakan kebebasan berekspresi.

Karena di sini, saya merasa hidup. Di sini, saya bukan hanya seorang dosen, tapi juga seorang penulis. Dan bagi saya, tidak ada yang lebih membebaskan daripada itu [ ]

]]>
Machibet777 Affiliate<![CDATA[Stories by Reza Fauzi Nazar on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/@rezafauzinazar/pajak-12-dan-mahasiswa-yang-biasa-biasa-saja-47ea0ed90ff5?source=rss-a1aefdf66cff------2 http://jeetwincasinos.com/p/47ea0ed90ff5 Wed, 27 Nov 2024 10:51:14 GMT 2024-11-27T10:51:14.894Z Bayangkan, pemerintah dengan khusyuk mengumumkan rencana menaikkan pajak barang dan jasa menjadi 12%, lengkap dengan argumen-argumen ekonominya yang njelimet . Sementara itu, mahasiswa di sudut kantin kampus masih asyik menggeser layar HP, scroll-scroll mencari tahu diskon di aplikasi belanja. Isu pajak? Ah, ribet. Santai aja, yang penting kopi susu langganan nggak naik harga.

Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

Gambaran yang bikin kita bertanya-tanya: kemana semangat kritis mahasiswa? Padahal dulu, mahasiswa adalah simbol perlawanan, suara paling lantang di jalanan, setiap kali ada kebijakan yang dirasa menyimpang. Tapi sekarang? Kebijakan sebesar pajak 12% yang bakal memengaruhi harga hampir semua kebutuhan harian justru berlalu seperti angin lewat.

Apa yang terjadi? Apa mahasiswa sudah kehilangan nyali? Atau mereka merasa pajak 12% ini bukan masalah?

Mari jujur. Pajak itu memang topik yang berat. Banyak mahasiswa yang bahkan nggak tahu apa bedanya PPN, PPh, dan PPnBM. Pajak itu terasa seperti "urusan orang tua", sesuatu yang baru akan dipedulikan kalau nanti sudah kerja dan kena potong gaji. Jadi, waktu ada “isu” pemerintah bicara soal menaikkan PPN menjadi 12%, mahasiswa merasa itu bukan urusan mereka. Apalagi, argumen pemerintah soal "perbaikan APBN" sering kali terdengar seperti bahasa alien.

Tapi, ya jelas ini urusan mahasiswa! Harga makanan di kantin bakal naik, biaya kuliah bisa ikut terkerek karena biaya operasional kampus juga terpengaruh. Tiket konser idola favorit dan nonton bola? Siap-siap tambah mahal. Bayar langganan Netflix pun sama. Problemnya, mahasiswa kebanyakan kurang melihat hubungan langsung dari pajak dan kehidupan sehari-harinya. Kebijakan ini jauh, padahal sebenarnya sedang mengetuk pintu dompet mereka.

Mahasiswa sekarang emang punya gaya berpikir yang beda. Mereka jadi generasi yang lebih fokus pada hal-hal yang terlihat langsung dampaknya. Kalau harga makanan naik, mungkin mereka cuma bakal pindah ke tempat makan lain atau cari promo di aplikasi. Mereka lebih peduli pada solusi instan daripada memahami akar masalah. Bukannya tidak peduli, tapi fokus mereka lebih ke "apa yang bisa saya lakukan sekarang" daripada "apa yang perlu saya perjuangkan untuk jangka panjang."

Dan, mari kita akui, gaya hidup mereka yang serba cepat ini sering malah mengikis rasa kepeduliannya pada isu-isu besar dan “berat”. Saat dihadapkan pada pajak 12%, mungkin respons pertama mereka adalah, “Ah, nanti juga turun lagi, kan?”

Tentu mahasiswa bisa disalahkan karena apatis. Tapi, apa pemerintah sudah cukup transparan dan mendidik? Apakah sistem pendidikan kita cukup mempersiapkan mereka untuk memahami isu-isu seperti ini?

Kita juga perlu bertanya: kapan terakhir kali pajak dijelaskan dalam ruang kelas yang mudah dimengerti? Jika mahasiswa hanya melihat pajak sebagai angka yang naik turun tanpa tahu penggunaannya, wajar kalau mereka memilih fokus ke hal lain yang lebih pas di mata mereka.

Mungkin sudah waktunya kita berhenti mengeluh soal mahasiswa yang cuek dan mulai mencari cara untuk melibatkan mereka. Misalnya, mengemas isu pajak dalam format yang menarik—infografis, video singkat, atau diskusi santai di kampus. Mahasiswa tidak malas, mereka cuma butuh pintu masuk yang sesuai dengan gaya belajarnya aja.

Dan tentu, mahasiswa sendiri juga perlu keluar dari zona nyaman. Pajak 12% mungkin kurang terdengar seksi, tapi dampaknya nyata. Kalau generasi muda saja tidak peduli, lalu siapa yang akan memperjuangkan keadilan fiskal di negeri ini?

Jadi, kalau harga kopi susu favorit naik minggu depan, jangan cuma ngeluh di status WA, X atau threads. Mungkin waktunya sudah berhenti diam dan mulai bertanya: "Kenapa ini bisa terjadi?" Sebab, pajak 12% bukan cuma soal angka, tapi soal masa depan kita bersama. [ ]

]]>
Mcb777 Bet<![CDATA[Stories by Reza Fauzi Nazar on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/@rezafauzinazar/kebiasaan-malas-bertanya-sekali-lagi-tentang-mahasiswa-3024a6690db3?source=rss-a1aefdf66cff------2 http://jeetwincasinos.com/p/3024a6690db3 Tue, 26 Nov 2024 13:24:05 GMT 2024-11-26T14:50:06.550Z Ada momen di kelas yang mungkin hampir selalu terjadi — dosen selesai menjelaskan materi, lalu bertanya, “Ada yang mau ditanyakan?” Suasana mendadak sunyi. Yang terdengar hanya suara AC. Mahasiswa? Mereka sibuk menatap meja, mencoret-coret catatan, atau pura-pura sibuk menggulir layar HP. Kalau ada yang nekat bertanya, sering kali dia justru dipandang aneh oleh teman-temannya. “Apaan sih, nanya-nanya gitu? Kan udah jelas.”

Antusiasme dengan tangan terangkat, bersemangat untuk mengajukan pertanyaan dan menjawab | sumber: stockcake.com

Gambaran nyata yang, seakan menjadi bagian dari kultur mahasiswa sekarang. Bertanya itu rasanya terlalu berisiko, baik dari segi waktu (takut buang waktu kuliah yang makin lama keluar) maupun reputasi (takut dianggap sok pintar atau, sok nggak tahu lah). Akibatnya, kelas cuma jadi ajang mendengar monolog dari dosen, sementara mahasiswa lebih memilih diam. Mengapa bisa begini?

buat yang belum langganan dan mau baca lengkapnya di sini

Di banyak lingkungan pendidikan, mungkin bertanya sering kali dihubungkan dengan ketidaktahuan. Dan di beberapa kasus, dianggap sesuatu yang memalukan. Bayangkan, sejak SD dulu, ada siswa yang bertanya soal sederhana, lalu ditertawakan teman-temannya. Atau lebih buruk, guru malah bilang, “Masa gitu aja nggak tahu nak?” Pengalaman kecil seperti itu mungkin bisa saja masih tertanam di benak kita. Saya gak tahu sekarang bagaimana dengan kurikulum merdeka di Sekolah-Sekolah, apakah mereka dituntut bertanya?

Walhasil, produk semacam itu membuat mereka tumbuh dengan pemikiran bahwa “diam itu emas”, diam itu lebih aman. Bertanya dianggap membuka peluang untuk dihakimi bahkan dinilai kurang pintar. Dan siapa yang mau jadi bahan omongan di grup WhatsApp kelas setelah itu?

Dulu, kalau ada yang nggak kita pahami, bertanya adalah satu-satunya jalan. Cuma memang zaman berubah, saya akui itu. Dan tiap jawaban dari tiap pertanyaan agaknya ada di ujung jari kita (walaupun semua belum tentu benar 100%). Mereka sekarang kayanya lebih milih cari tahu di Google atau Chat GPT daripada nanya langsung ke dosennya. Memang cepat, tapi kadang kurang tepat.

Namun, ada satu hal yang sering kita lupa: bertanya kepada manusia bukan cuma soal mendapatkan jawaban. Itu juga tentang melatih rasa ingin tahu, membangun keberanian, dan memperdalam diskusi. Membuat semacam suasana dialektis untuk terus menggali tesis — antitesis — sintesa kalau pakai bahasa Hegel. Sesuatu yang gak akan kita dapatkan dari teknologi algoritma mesin AI yang kaku.

Bagi mahasiswa, ruang kelas kadang lebih mirip panggung teater. Setiap gerakan, setiap kata yang keluar, rasanya semacam sedang diawasi. Di tengah tekanan itu, banyak yang lebih milih bermain aman. Bertanya artinya harus tampil di depan umum, menunjukkan kelemahan, atau bahkan mempertaruhkan kredibilitas.

Lucunya, di luar kelas, mahasiswa ini bisa jadi sangat kritis. Mereka rajin berdiskusi di grup kecil, bahkan di media sosial. Tapi begitu kembali ke kelas, semuanya tenggelam lagi. Mungkin, mereka butuh ruang yang lebih nyaman untuk berekspresi.

Salah Siapa? Salah mahasiswa? Tidak sepenuhnya. Salah dosen? Tidak juga. Mahasiswa yang “emoh” berdiskusi adalah hasil sistem pendidikan kita yang emang lebih menekankan kepatuhan daripada dialog. Kalau di kalangan santri terkenal Sami’na wa Atha’na (kami mendengar kami taat) daripada Sami’na wa Analisa (kami mendengar lalu kami analisis — ini sering saya lontarkan dalam kelas). Dari kecil kita lebih sering dikasih paham supaya menerima informasi daripada mempertanyakan. Lalu tiba-tiba, di bangku kuliah, mahasiswa dituntut kritis. Wajar kalau banyak yang bingung harus mulai dari mana.

Mungkin, langkah konkritnya ialah menghapus stigma “bertanya itu bodoh.” Kita bisa mulai dengan menciptakan lingkungan yang aman, di mana setiap pertanyaan dihargai tanpa penghakiman. Bahkan, dosen bisa mancing diskusi dengan pertanyaan-pertanyaan provokatif yang membuat mahasiswa merasa tertantang untuk berbicara.

Mahasiswanya juga mungkin perlu belajar bahkan harus sudah terdoktrin kalau bertanya itu adalah hak, bahkan kewajiban. Bertanya itu bukan tanda gak tahu dan lemah, tapi tanda kepedulian. Kalau takut bertanya di kelas, coba bertanya di grup kecil, atau bahkan lewat WA ke dosennya, bisa juga lewat e-mail, bebas, semua sekarang serba mudah.

Kultur malas bertanya ini sebenarnya lebih merugikan mahasiswa sendiri. Saat mereka milih diam, mereka kehilangan peluang untuk memahami lebih dalam, supaya belajar dari perspektif orang lain, dan buat melatih kemampuan berpikir kritis. Bertanya bukan cuma soal cari jawaban, tapi tentang nunjukin bahwa kita peduli dengan apa yang sedang kita pelajari.

Jadi, kalau kamu mahasiswa dan sedang duduk di kelas, coba dong sesekali angkat tangan dan tanyakan sesuatu. Tidak ada pertanyaan yang bodoh. Yang bodoh adalah ketika kita punya kesempatan untuk belajar lebih, tapi memilih diam. Sebab, dalam diam, tidak ada kemajuan. [ ]

]]>
chibet Cricket<![CDATA[Stories by Reza Fauzi Nazar on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/islam-indonesia/agama-sebagai-komoditas-dari-halal-lifestyle-hingga-formalisme-yang-keterusan-2557fcd92ff2?source=rss-a1aefdf66cff------2 http://jeetwincasinos.com/p/2557fcd92ff2 Tue, 26 Nov 2024 07:02:15 GMT 2024-11-26T07:02:15.827Z Indonesia, yang diakui jadi negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia itu punya kebiasaan unik: menjadikan agama bukan sekadar keyakinan, tapi juga ladang bisnis yang, gila, potensinya bikin pengusaha langsung salat hajat tiga kali sehari. Dari labelisasi produk halal, pariwisata halal, bank syariah, fintech syariah, hingga label-label “halal” yang kini seperti bumbu wajib di setiap etalase produk, dan — agama kita, sudah jadi komoditas.

Fenomena ini, kata kalau kamu pernah baca Pergolakan Pemikiran Islam Ahmad Wahib, adalah bagian dari "formalisasi" agama. Semua yang dulunya nilai spiritual kini dirumuskan dalam angka, standar, dan label resmi. Kalau agama adalah keyakinan, komoditas adalah jualan. Jadi, gimana ceritanya spiritualitas berubah jadi branding?

Dua wanita muslim berhijab sedang melihat peta saat bepergian | freepik.com

buat baca versi gratisnya di sini ya.

Bayangkan deh pantai wisata Bali. Ah, pulau surga itu. Tapi sekarang, coba tengok Lombok, yang branding-nya halal tourism. Keindahan pantai tetap nomor satu, tapi nggak afdal kalau nggak ada sertifikat dan label halalnya. Hotel syariah, restoran halal, sampai spa halal (bagaimana itu bekerja, saya juga belum tahu). Seolah semua orang muslim nggak bisa liburan kalau nggak ada jaminan ayat-ayat melapisi pengalaman wisata mereka.

Tentu saja, ini bisnis. Menurut laporan Thomson Reuters, industri halal global bernilai lebih dari 2 triliun dolar AS. Indonesia, sebagai rumah dari mayoritas muslim terbesar, mau nggak mau tergoda jadi pemain utama dong. Cuma masalahnya, seberapa penting branding halal ini bagi kehidupan sehari-hari? Apa benar kita butuh label halal di air putih hanya agar yakin itu bukan air yang diambil dari keran orang lain?

Bank Syariah sampai Fintech Syariah: Formalisasi apa solusi?

Bank syariah adalah contoh paling telak. Lahir dari keresahan bahwa riba itu haram, perbankan syariah mengklaim punya solusi keuangan islami. Tapi, kata Haidar Bagir, praktik syariah di bank tak jauh beda dari bank konvensional, hanya dibungkus bahasa surgawi. Alih-alih membangun sistem ekonomi baru yang adil dan tanpa eksploitasi, bank syariah seringkali hanya mengganti istilah: bunga jadi margin, kredit jadi akad murabahah. Bedanya? Ya itu tadi, syariah itu ajaran Tuhan gitu.

Fintech syariah, anak baru di jagat ekonomi islami, juga nggak kalah mencuri perhatian. Dari aplikasi pinjaman berbasis akad hingga investasi reksadana syariah, semuanya bikin umat merasa lebih tenang—meski bunganya sering lebih tinggi daripada pinjol biasa.

Agama dan Kapitalisme: Alih Fungsi Nilai Spiritual

Coba deh pikir, Marx pernah bilang agama adalah candu, tapi di Indonesia, agama lebih seperti emas. Nilainya tinggi, bisa dijual ulang, dan hampir semua orang rela antre untuk memilikinya. Formalisasi agama ini terjadi bukan karena umat makin religius, tapi karena kapitalisme lihai mencium peluang di setiap ceruk pasar.

Tanpa disadari, formalisasi ini seringkali menjadi jebakan moral. Ketika agama masuk pasar, ia kehilangan fleksibilitas dan justru menjadi instrumen kontrol sosial. Dari busana muslim yang terus didikte oleh tren, hingga festival hijrah yang lebih mirip pameran gaya hidup, semuanya menekankan “penampilan” ketimbang substansi.

Gus Dur atau Ahmad Wahib, dulu sering mengkritik agama yang terlalu formalis ini. Bagi mereka, agama semestinya berpusat pada nilai kemanusiaan dan pembebasan, bukan pada institusionalisasi yang kaku. Formalisasi agama, menurut mereka, berisiko membuat agama kehilangan jiwanya—alih-alih menjadi jalan pencerahan, ia justru menjadi alat pencitraan.

Ahmad Wahib dalam Catatan Harian-nya itu bilang bahwa agama harusnya jadi ruang kontemplasi, bukan arena kompetisi. Formalisasi agama malah memupuk ilusi bahwa ritualisme dan sertifikasi adalah puncak keberagamaan. Padahal, nilai luhur agama seringkali lahir dari kesederhanaan, bukan formalitas.

Pada akhirnya, mengkomoditaskan agama mungkin gak bisa kita hindari di era kapitalisme global. Tapi, ada baiknya kita berhenti sejenak, menanyakan ini pada diri sendiri: apakah agama adalah soal label dan standar, atau soal hati dan keikhlasan? Kita memang butuh makan dari bisnis halal, tapi jangan sampai spiritualitas kita tergerus oleh obsesi halalisme.

Jadi, ketika Anda membeli air mineral berlabel halal atau berinvestasi di fintech syariah, ingatlah bahwa agama adalah sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar komoditas. Formalisasi sampai legitimasi dari agama mungkin menciptakan ketenangan, tapi seringkali ia menutup relung hati terdalam. Dan tanpa itu, agama hanya akan jadi bagian lain dari pasar—bukan jalan menuju pencerahan. [ ]


Agama Sebagai Komoditas: Dari Halal Lifestyle hingga Formalisme yang Keterusan was originally published in Islam Indonesia on Medium, where people are continuing the conversation by highlighting and responding to this story.

]]>
Machibet777 Bet<![CDATA[Stories by Reza Fauzi Nazar on Medium]]> http://jeetwincasinos.com/@rezafauzinazar/mahasiswa-sekarang-malas-mikir-tapi-kreatif-apa-salah-f5637b52077f?source=rss-a1aefdf66cff------2 http://jeetwincasinos.com/p/f5637b52077f Mon, 25 Nov 2024 18:40:48 GMT 2024-11-26T01:54:52.498Z Buat yang belum langganan

Ngajar mahasiswa sekarang itu mirip main layangan di tengah badai. Bikin keringetan, kadang frustasi, tapi entah kenapa malah bikin ketagihan buat nyoba lagi. Ada apa dengan mereka? Pertanyaan ini muncul karena mahasiswa sekarang kayanya punya gaya yang bikin dosen garuk-garuk kepala. Malas mikir, apalagi berdialektika. Kritis? Ealah, kejauhan. Tapi gilanya, mereka kadang nunjukkin kalau mereka itu lebih kreatif luar biasa. Lho, kok bisa? Salah siapa?

Di ruang kelas yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas, mereka belajar dengan antusias | sumber: stockcake.com

Fenomena ini nyata. Saya sering coba kasih pertanyaan yang butuh logika dan analisis. Bukannya semangat jawab, mereka malah pasang muka bingung, seperti habis lihat tagihan Wi-Fi di akhir bulan. Ditanya, “Menurutmu, jawabannya apa?” Eh, malah bilang, “Nggak tahu, Pak. Kan belum diajarin.” Aduh, Nak, kalau semua butuh diajarin dulu, trus kapan lulusnya? Dunia nyata itu nggak ada tutorial “How to Survive Life with…”. Langsung babak belur dulu, baru paham.

Tapi tunggu dulu, jangan keburu ngenilai. Giliran tugasnya disuruh bikin video penjelasan teori yang sama,wah, tiba-tiba mereka berubah jadi sutradara berbakat. Musik latarnya pas, narasinya bikin ngakak, editingnya mulus dan juara. Kreatif banget, malah. Paradoks banget kan? Di satu sisi, malas mikir mendalam. Di sisi lain, kreatif bukan main.

Nah, di sinilah letak keanehannya. Mahasiswa sekarang ini seperti pizza topping-nya burger. Masih enak, tapi nggak sesuai ekspektasi. Jadi pertanyaan besarnya, salahkah mereka kalau lebih jago bikin konten ketimbang menyusun argumen?

Beda Generasi, Beda Gaya

Kalau saya bilang mereka salah, rasanya kok nggak adil. Dunia sudah berubah. Dulu, siapa yang bisa ngitung rumus integral, paham betul teori Marxisme, atau hafal nama-nama filsuf Postmodern bisa langsung dianggap pintar. Tapi sekarang, siapa yang bisa jelasin itu semua pakai bahasa sederhana dengan gaya populer — yang gampang masuk ke kepala anak Gen Z dan Alpha — justru yang lebih dipakai. Inget, mahasiswa sekarang tumbuh di dunia yang serba cepat, mereka — digital native. Buku tebal dianggap melelahkan, tapi infografis Instagram atau video dua menit di YouTube? Bisa mereka lahap habis.

Mereka ini bukannya nggak mau mikir, cuma caranya aja beda. Kalau dulu, membaca buku filsafat tebal itu dibilang keren, sekarang lebih keren kalau bisa bikin utas Threads soal eksistensialisme Nietzsche dalam 140 karakter. Masih soal yang sama, cuma medianya beda.

Nah, sebagai dosen (atau yang pura-pura jadi dosen), saya sadar betul bahwa tantangan terbesar kami atau saya adalah bagaimana menyeberangi jurang ini. Kalau terus ngotot pakai cara lama, yang ada malah makin jauh. Misalnya, mereka malas bikin esai panjang? Ya sudah, kasih tugas bikin vlog analisis. Nggak mau baca buku tebal? Ajak diskusi bikin semacam podcast. Intinya, kita yang harus sedikit lebih fleksibel tanpa mengorbankan esensi berpikir kritis.

Tapi, jangan salah paham. Kreativitas tanpa kedalaman itu seperti balon gas. Terlihat besar, tapi rapuh. Sekali ditusuk jarum, langsung meletus. Atau seperti bangun rumah dari kartu — indah tapi rapuh. Itu sebabnya, tugas kita bukan cuma ngagumi kreativitas mereka, tapi juga ngajarin cara berpikir yang tajam dan mendalam. Karena, jujur saja, kreativitas dan kedalaman berpikir itu kayak kopi dan pisang goreng. Pasangan sempurna.

Sambil ngomel-ngomel soal mahasiswa, kadang saya mikir, apa sebenarnya kita ini yang salah? Kita ini masih terjebak pada standar lama. Kepengen mahasiswa diskusi di bawah pohon rindang sambil bahas makna hidup, tatanan masyarakat ideal, keberpihakan pada rakyat. Padahal, mahasiswa sekarang lebih tertarik diskusi di kolom komentar Reels Instagram. Jangan-jangan, kita yang nggak mau beradaptasi dengan zaman.

Kadang, ego kita terlalu besar. Merasa bahwa metode lama adalah yang paling benar. Padahal, generasi ini tumbuh di dunia yang jauh beda. Kalau kita terus memaksakan cara lama, yang ada malah mereka makin nggak nyambung. Ya sudah, mungkin sekarang waktunya kita yang perbarui standar, bukan mereka yang harus nurut sama cara kita.

Saya yakin mereka punya potensi besar yang kalau diasah dengan baik, bisa bikin mereka jadi generasi luar biasa. Bisa jadi, mereka yang kita anggap malas berpikir ini justru akan menciptakan ide-ide brilian di masa depan. Bukan dengan cara kita, tapi dengan cara mereka sendiri yang belum kita pahami.

Misalnya, siapa tahu nanti mereka menciptakan metode pembelajaran baru yang lebih efektif untuk anak-anak Gen Alpha. Atau mungkin mereka bisa bikin solusi teknologi untuk masalah-masalah besar dunia. Kreativitas mereka ini adalah aset, bukan beban. Tinggal bagaimana kita mengarahkannya.

Jadi, salahkah? Nggak sepenuhnya. Mereka hanya produk zaman yang beda. Salahkah kita? Ya, mungkin. Kalau kita masih frustasi dengan perbedaan ini, artinya kita yang belum cukup adaptif.

Kuncinya adalah mencari jalan tengah. Bukan cuma menuntut mereka berpikir seperti kita, tapi juga belajar memahami cara mereka bekerja. Kalau ini berhasil, kita nggak cuma bikin mereka lebih kritis, tapi juga membantu mereka jadi generasi yang kreatif sekaligus kritis.

Akhirnya, tugas kita bukan mengubah batu jadi berlian, tapi memoles berlian agar bersinar lebih terang. Dan siapa tahu, generasi kreatif ini justru yang akan mengubah dunia dengan cara yang sama sekali tidak kita duga. [ ]

]]>