Sitemap
Dunia Kampus

Publikasi yang mewadahi cerita tentang kehidupan kampus. Bisa berupa catatan kuliah, pengalaman kuliah, opini terhadap sistem perguruan tinggi, dan sebagainya.

Stop bullying, anti-bullying, stop cyberbullying. Typewriter notebook on blue background
Foto oleh Copper and Wild di Unsplash

Pembunuh Mimpi itu Bernama Perundungan

Ketika Kehidupan Kampus Tidak Selamanya Sesuai Ekspektasi

Iva
7 min readMay 6, 2025

--

Saya pernah percaya bahwa kampus adalah ruang yang aman untuk tumbuh. Tempat di mana orang-orang muda saling menyemangati dalam belajar, berkarya, dan mencari arah hidup. Saya datang dengan semangat itu. Masuk ke sebuah organisasi pers mahasiswa sebagai kader alias wartawan magang, saya membawa cita-cita sederhana.

Saya ingin menjadi jurnalis. Saya ingin belajar dan menemukan ada tempat yang bisa jadi wadah saya mengaktualisasi diri di kampus.

Gagal mengenyam pendidikan untuk meniti karier sebagai diplomat membuat saya kembali menengok satu kemampuan yang paling saya yakini—menulis. Apalagi ibu saya bekerja di dunia media, walau bukan sebagai wartawan. Di benak saya, organisasi ini bisa menjadi batu loncatan, tempat belajar yang mempertemukan idealisme dan latihan praktik.

Beberapa bulan pertama terasa menyenangkan. Saya meliput, menulis berita, ikut diskusi, dan belajar menulis resensi. Saya merasa hidup, punya arah, dan berani membayangkan masa depan. Tapi semua itu berubah perlahan, bukan karena beban kerja atau standar yang tinggi, melainkan karena cara kritik diberikan.

Alih-alih mengkritik untuk kemajuan saya, kritik yang terdengar seperti hardikan, dilontarkan di depan umum tanpa empati, dengan wajah datar dan suara tegas seolah-olah menyampaikan kebenaran mutlak.

Puncaknya terjadi ketika saya diminta mengisi sesi diskusi rutin karena tidak ada pemantik yang tersedia. Saya yang saat itu tengah menyusun resensi film, dengan naskah mentah dan waktu persiapan minim, diminta langsung memulai diskusi.

Saya mencoba membuka pembahasan dengan mengangkat latar sosial dalam film tersebut, namun belum lama saya berbicara, seseorang menghardik saya. Katanya, pembahasan saya tidak komprehensif. Tidak sesuai standar organisasi. Suaranya menusuk, kata-katanya menampar. Saya yang semula berdiri, mendadak lemas dan duduk. Spidol yang saya genggam saya remas seerat mungkin agar tak menangis. Sejak itu, menulis dan berbicara di depan orang banyak menjadi trauma.

Saya diam. Saya tetap datang ke sekretariat, menuntaskan tugas, ikut rapat dan diskusi rutin. Tapi hati saya kosong. Berita terakhir yang saya tulis bahkan bukan isu hasil brainstorming saya sendiri, melainkan pecahan angle dari isu yang sudah digarap seorang kawan. Saya kehilangan semangat. Ketika akhirnya saya pergi, saya pamit tanpa sempat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Saya hanya tahu satu hal: saya tidak bisa bertahan di ruang yang merasa berhak mempermalukan orang demi ‘standar.’

Butuh waktu lama untuk sembuh. Tapi saya menulis ini agar kita tidak menormalisasi kekerasan emosional di ruang yang seharusnya jadi rumah belajar. Karena kadang mimpi tidak mati karena malas atau gagal—mimpi bisa mati karena dilukai.

Apa yang saya alami bukan kejadian tunggal. Budaya perundungan di lingkungan pendidikan masih hidup dan terus mewariskan kekerasan dalam rupa yang tak selalu kasat mata. Ia tidak selalu datang dalam bentuk fisik. Sering kali, perundungan di kampus adalah ejekan terselubung atas karya, pembunuhan karakter lewat kritik tanpa empati, atau delegitimasi kemampuan hanya karena status sebagai “anak baru.”

Banyak mahasiswa, mengalami tekanan mental yang bersumber bukan dari sistem akademik, tapi dari lingkungan seorganisasi yang mempraktikkan kekuasaan atas nama pembinaan.

Data Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) menunjukkan bahwa perundungan verbal merupakan bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi di lingkungan pendidikan tinggi pada tahun 2022.

Sementara itu, laporan Komnas Perempuan 2023 juga menyinggung bahwa banyak kekerasan simbolik dan relasi kuasa yang timpang terjadi dalam organisasi kampus, namun luput ditangani karena dianggap urusan “internal.”

Organisasi yang seharusnya menjadi tempat belajar justru kerap meniru struktur kekuasaan yang timpang. Dalam banyak kasus, status senioritas dan glorifikasi pengalaman digunakan untuk membenarkan perlakuan kasar terhadap anggota baru. Kritik menjadi alat untuk menunjukkan dominasi, bukan membangun.

Bahkan istilah seperti “bakar mental” atau “uji mental” masih digunakan seolah-olah menyakiti adalah bagian dari kurikulum tak tertulis. Ironisnya, kekerasan ini tidak jarang dibungkus dengan jargon pembelajaran atau pembentukan karakter.

Hal yang paling berbahaya dari semua ini adalah bagaimana perundungan di kampus dinormalisasi. Diterima sebagai “wejangan senior” dijustifikasi dengan alasan agar bisa mengikuti standarnya, dan pada akhirnya diteruskan ke generasi berikutnya.

Tanpa sadar, mahasiswa dididik untuk jadi pelaku baru dalam siklus kekerasan yang sama. Dan kampus, yang seharusnya menjadi ruang tumbuh, malah menjadi ladang luka yang tak terlihat.

Relasi Kuasa dan Kekerasan Simbolik dalam Organisasi Kampus

Di balik jargon “kaderisasi” dan “pembinaan,” tersembunyi praktik-praktik kekuasaan yang mereproduksi hierarki, dominasi, dan kekerasan simbolik. Organisasi mahasiswa, terutama yang mapan dan memiliki sejarah panjang, sering kali membangun struktur internal yang kaku dan eksklusif.

Senioritas dijadikan tolok ukur legitimasi, sementara anggota baru atau kader magang dianggap belum layak bersuara. Dalam struktur seperti ini, kritik bukan hanya tentang isi tulisan atau gagasan, tapi juga tentang posisi sosial: siapa yang bicara dan dari mana ia berasal dalam hierarki organisasi.

Lebih parahnya lagi, semua ini muncul tanpa kasat mata, di sebuah organisasi yang mengaku inklusif tanpa senioritas. Sangat munafik karena nilai-nilai keterbukaan dan demokrasi yang mereka gaungkan kerap hanya menjadi slogan kosong.

Dalam praktiknya, kebebasan berpendapat dibatasi oleh “etika organisasi” yang lentur maknanya. Etika ini bisa digunakan untuk merangkul, bisa juga untuk menyingkirkan.

Pierre Bourdieu menyebut ini sebagai bentuk kekerasan simbolik—kekuasaan yang tak terlihat, tapi meresap lewat kebiasaan, bahasa, dan penilaian. Kekerasan ini tak hanya membuat korban merasa tidak cakap, tapi juga menciptakan ilusi bahwa dirinya memang layak menerima perlakuan itu.

Dalam konteks organisasi kampus, kekerasan simbolik hadir ketika standar kualitas menjadi senjata untuk membungkam, bukan alat bantu untuk tumbuh. Ketika suara baru dianggap mentah dan pantas dipermalukan di depan umum atas nama pembelajaran.

Relasi kuasa semacam ini juga membuat banyak “anak baru” merasa tidak aman. Mereka takut bersuara, takut salah, dan takut menjadi bahan evaluasi yang tak pernah konstruktif.

Sebuah studi oleh Setara Institute pada tahun 2022 menyebutkan bahwa banyak organisasi intra-kampus mereproduksi nilai-nilai otoritarian—pengambilan keputusan yang sentralistik, tidak demokratis, dan tidak memberi ruang aman untuk anggota baru yang masih beradaptasi dengan lingkungan kerja organisasi.

Dalam iklim seperti itu, tidak mengherankan jika banyak mahasiswa menarik diri dari organisasi, merasa teralienasi, atau bahkan mengalami gangguan psikologis akibat tekanan sosial internal.

Relasi kuasa ini juga tidak berdiri sendiri, melainkan berkait dengan budaya kompetisi dan performativitas di lingkungan akademis. Mahasiswa didorong untuk terlihat aktif, produktif, dan vokal, tapi tidak disiapkan untuk menghadapi ekspektasi yang menekan dan relasi yang timpang. Dalam banyak kasus, kekerasan simbolik justru dilegitimasi oleh institusi kampus karena dianggap bagian dari “proses pembelajaran” non-formal.

Menurut pandangan filsuf Michel Foucault, relasi kuasa di institusi pendidikan tak hanya tercermin dalam tindakan yang nyata, tetapi juga dalam norma-norma yang membentuk perilaku. Foucault dalam Discipline and Punish menjelaskan bagaimana kekuasaan tidak hanya hadir melalui hukuman fisik, tetapi juga melalui mekanisme pengawasan yang halus dan internalisasi norma-norma tertentu.

Dalam konteks kampus, relasi kuasa tersebut sering kali beroperasi dalam bentuk pengawasan diri (self-surveillance), di mana mahasiswa merasa harus terus-menerus menunjukkan produktivitas dan kinerja mereka, bukan hanya demi memenuhi standar akademik, tetapi untuk memenuhi ekspektasi sosial dari kelompok atau organisasi tempat mereka bernaung.

Lebih jauh lagi, Foucault menyebutkan konsep panopticism—suatu mekanisme pengawasan di mana individu diawasi secara terus-menerus, meskipun pengawasnya tidak selalu tampak. Dalam hal ini, kekerasan simbolik di dalam organisasi kampus sering kali menjadi bentuk pengawasan terhadap anggota.

Mahasiswa, atau dalam hal ini anggota baru, merasa perlu untuk terus membuktikan diri mereka, menghindari kritik, dan berkompetisi untuk menghindari perundungan.

Dengan kata lain, mereka terperangkap dalam sistem pengawasan internal yang menuntut kepatuhan dan produktivitas yang tiada henti, meski sering kali tidak mempedulikan kesehatan mental atau kesejahteraan mereka.

Selain Foucault, ahli pendidikan Paulo Freire juga memberikan perspektif penting mengenai relasi kuasa dalam pendidikan. Freire dalam bukunya “Pendidikan Kaum Tertindas”, menekankan pentingnya pendidikan yang berorientasi pada dialog, saling menghargai, dan pembebasan, bukan pada dominasi dan penindasan.

Freire mengkritik sistem pendidikan yang mengarah pada banking concept—pendekatan di mana pendidik mendiktekan pengetahuan kepada peserta didik tanpa memberi ruang untuk pemikiran kritis atau kreativitas. Dalam hal ini, perundungan yang terjadi di organisasi kampus juga menjadi bentuk dominasi, di mana pemikiran mahasiswa sering kali dibungkam, baik dalam hal ide maupun ekspresi diri, oleh mereka yang dianggap lebih senior atau lebih berpengalaman.

Secara keseluruhan, baik Foucault maupun Freire menunjukkan bagaimana relasi kuasa dalam konteks pendidikan dapat memperburuk ketidaksetaraan dan menciptakan lingkungan yang tidak mendukung perkembangan individu secara bebas.

Dengan menjadikan kekerasan simbolik dan perundungan sebagai bagian dari kultur akademik, kita secara tidak langsung memperkuat struktur ketidakadilan dan menanggalkan esensi pendidikan itu sendiri sebagai proses pemberdayaan dan pembebasan.

Pembebasan Diri dan Tuntutan Mengakhiri Kekerasan yang Dinormalisasi

Ketika saya memutuskan keluar dari organisasi itu, bukan berarti saya kalah. Justru, keputusan itu adalah bentuk perlawanan terhadap budaya yang merusak. Saya menolak menjadi bagian dari rantai kekerasan yang diwariskan atas nama “kaderisasi.”

Tapi, seperti banyak penyintas lainnya, saya menyadari betapa sulitnya menyuarakan luka dalam budaya kampus yang memuliakan ketangguhan dan menganggap kerentanan sebagai kelemahan.

Saya tidak sendiri. Dalam laporan Teman Baik Project (2022), dari 1.023 mahasiswa yang menjadi responden, 62% mengaku pernah mengalami perundungan verbal selama mengikuti kegiatan organisasi kampus.

Namun hanya 11% dari mereka yang melaporkannya secara resmi, sebagian besar memilih diam karena takut dianggap lemah atau malah dibalas dengan stigma. Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak luka yang dipendam, dan ruang aman untuk menyuarakan pengalaman traumatis nyaris tak tersedia.

Bersyukur saya mendapatkan bantuan psikolog yang membantu saya merawat luka itu. Saya juga mulai menulis lagi, dan di luar ruang-ruang organisasi formal itulah saya bertemu banyak orang yang mengapresiasi tulisan saya—tanpa harus merendahkan atau menguji saya dengan kekerasan. Dukungan dari komunitas dan pembaca menjadi fondasi penting bagi pemulihan saya.

Tapi saya sadar, tidak semua orang seberuntung saya. Banyak mahasiswa yang kehilangan minat, keberanian, dan bahkan kepercayaan diri setelah disakiti oleh orang-orang yang seharusnya membimbing.

Perundungan di kampus, khususnya dalam organisasi kemahasiswaan, bukan sekadar persoalan individu. Ia adalah masalah struktural. Budaya kekerasan yang dilanggengkan lewat senioritas, glorifikasi produktivitas, dan absennya ruang aman harus diakui sebagai bentuk kegagalan institusi akademik dalam melindungi mahasiswa.

Kampus perlu membangun mekanisme pengaduan yang tegas, independen, dan berpihak pada korban. Bukan sekadar formalitas birokrasi, tapi sistem yang mampu menindak kekerasan simbolik dan verbal secara serius.

Pendidikan anti-kekerasan harus jadi bagian dari kurikulum kaderisasi, dan organisasi kemahasiswaan harus diminta bertanggung jawab atas keselamatan psikologis anggotanya, bukan hanya prestasi liputan atau banyaknya acara.

Lebih dari itu, kita semua—mahasiswa, dosen, dan pengurus organisasi—perlu mengubah cara pandang. Kelembutan bukan kelemahan. Kritik tidak harus menyakitkan dan membimbing bukan berarti menghakimi.

Apabila kampus ingin benar-benar menjadi ruang pembelajaran, maka ia harus lebih dulu menjadi ruang yang aman. Sebab mimpi tidak tumbuh dari rasa takut. Ia tumbuh dari keberanian untuk dihargai dan ruang untuk menjadi diri sendiri.

Dunia Kampus
Dunia Kampus

Published in Dunia Kampus

Publikasi yang mewadahi cerita tentang kehidupan kampus. Bisa berupa catatan kuliah, pengalaman kuliah, opini terhadap sistem perguruan tinggi, dan sebagainya.

Iva
Iva

Written by Iva

Seorang mahasiswa biasa yang sedang belajar menulis dan sedang berusaha menulis seputar Jerman yang mungkin tidak banyak orang ketahui.

Responses (2)