Sitemap
Dunia Kampus

Publikasi yang mewadahi cerita tentang kehidupan kampus. Bisa berupa catatan kuliah, pengalaman kuliah, opini terhadap sistem perguruan tinggi, dan sebagainya.

Inflasi Jurnal Ilmiah

3 min readApr 25, 2025

--

Photo by on

Beberapa waktu lalu saya pernah bertanya-tanya, dari mana sih datangnya tradisi menulis artikel di jurnal ilmiah. Jawabannya ternyata sangat mudah ditemukan. Wikipedia berbahasa Inggris memberi jawabannya dengan baik, lengkap dengan referensinya!

Sebelum ada terbitan jurnal ilmiah, para ilmuwan punya kebiasaan saling berkirim surat. Mereka bertanya dan mengabarkan temuan mereka kepada sesama ilmuwan dan saling membahasnya melalui surat tersebut. Surat-menyurat dan isinya ilmu. Isinya adalah hasil observasi dan eksperimentasi. Menarik sekali.

Sebagian orang kemudian berinisiatif untuk menghimpun surat-surat yang didapatnya dan kemudian menerbitkannya. Kenapa kok diterbitkan? Alasannya, biar ada lebih banyak ilmuwan yang bisa mengetahui temuan-temuan baru tersebut, tidak hanya diketahui oleh penerima surat saja. Inilah cikal-bakal jurnal ilmiah. Isinya adalah himpunan surat-surat. Semangatnya adalah mengabarkan temuan ilmiah terbaru.

Kejadian seperti itu terjadi pada kisaran abad ke-17 di Eropa. Para pelakunya digambarkan sebagai “para ilmuwan pencerahan”, yakni orang-orang yang bergelora dengan kebaruan dan ikhtiar meninggalkan pandangan-pandangan lama.

Berkirim surat ini hanya salah satu cara yang mereka tempuh untuk mencari kabar temuan-temuan ilmiah baru. Ada dua cara lain: 1) menunggu terbitan buku baru tentang temuan ilmiah, dan 2) mengajak para ilmuwan berkumpul untuk membicarakan temuan-temuan baru. Cara kedua ini adalah cikal-bakal perkumpulan yang sekarang dikenal dengan sebutan konferensi ilmiah.

Sekarang di Indonesia banyak sekali jurnal ilmiah, seiring perkembangan baru berupa terbitan jurnal secara daring. Data yang terhimpun oleh , pengindeks iptek milik Kemendikbudristek, jumlah jurnal ilmiah di Indonesia adalah 13.522 buah. Edyan!

Jumlah sebenarnya tentu lebih banyak lagi sebab masih banyak jurnal ilmiah yang belum terindeks Sinta. Saya sering melihat pengelola jurnal membagikan undangan makalah (call papers) di WA tapi jurnal tersebut belum terakreditasi Sinta.

Jumlah artikel yang diterbitkan oleh orang-orang Indonesia juga tidak kalah banyak. Scimago menyebutkan bahwa terdapat 64.596 buah artikel yang terbit tahun 2024. Ini tertinggi se-Asia Tenggara. Di wilayah Asia, Indonesia menempati posisi ke-5, hanya kalah dari (secara berurutan) China, India, Jepang dan Korea Selatan. Edyan!

Saya jadi teringat sebuah yang dikeluarkan oleh Dirjen Dikti tahun 2012 yang silam. Surat ini adalah cikal-bakal kewajiban mahasiswa menerbitkan artikel ke sebuah jurnal ilmiah, khususnya untuk mahasiswa S2 dan S3. Yang lucu, di situ disebutkan latar belakang kebijakan tersebut, yaitu “jumlah karya ilmiah dari perguruan tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh.”

Jadi, semangat awalnya karena kepingin menang-menangan jumlah. Semangat ini tertera jelas dalam surat edaran itu. Ya sudah, setelah 13 tahun berlalu, sekarang keinginan tersebut sudah terpenuhi. Tidak hanya sekarang, Indonesia berhasil menyalip Malaysia malah sejak 2018.

Apakah ini prestasi? Tentu ada beda pendapat di sini. Tapi mewajibkan mahasiswa menerbitkan artikel hanya karena kalah jumlah sama Malaysia? Ini lucu sih.

Dengan banyaknya jumlah jurnal ilmiah, salah satu penyakit yang dialami Indonesia adalah inflasi. Artinya, tempat untuk menerbitkan artikel tersedia melimpah, sementara artikel yang mau diterbitkan terbatas. Dalam keadaan seperti ini, artikel tanpa mutu pun bisa diterbitkan. Yang penting edisi terbaru bisa terbit.

Ada perumpamaan bagus yang dibikin oleh Gus Mus (panggilan Kiai Mustafa Bisri) untuk menggambarkan situasi inflasi begini. Dia bercerita kenapa kerap muncul hoaks di portal berita daring. Penyebabnya karena surplus portal berita. Seiring dibukanya keran kebebasan menyatakan pendapat, bermunculan perusahan berita baru. Akibatnya, lowongan pekerjaan sebagai wartawan bermunculan, padahal orang yang punya keterampilan membuat berita berjumlah terbatas. Selanjutnya, siapapun diterima jadi wartawan meskipun tidak punya skill di bidang itu. Ini situasi tidak sehat.

“Ibaratnya seperti banyak maskapai penerbangan,” kata Gus Mus memberi ilustrasi, “Tapi, jumlah pilot terbatas. Akhirnya bagaimana? Tukang becak pun dijadikan pilot!”

Ini adalah ilustrasi yang bagus dan berlaku juga dalam situasi inflasi yang dialami dunia publikasi artikel di jurnal ilmiah. Situasinya mirip seperti tukang becak dipaksakan menjadi pilot pesawat.

Kalau ada pembaca berkesimpulan bahwa saya menista profesi tukang becak, semoga dia meninggal karena tertimpa elpiji satu truk seperti dalam sinetron azab itu. Kesimpulan seperti ini ngawur sekali.

Apa efek yang akan terjadi setelah inflasi ini? Jika tidak segera ditangani, jurnal ilmiah tidak layak jadi sumber ilmu, mirip uang kertas yang nilainya merosot saat inflasi. Ini saya bicara di Indonesia ya, bukan di negara lain.

Dunia Kampus
Dunia Kampus

Published in Dunia Kampus

Publikasi yang mewadahi cerita tentang kehidupan kampus. Bisa berupa catatan kuliah, pengalaman kuliah, opini terhadap sistem perguruan tinggi, dan sebagainya.

Responses (1)