Childfree Bukan Egois, Tapi Pilihan yang Layak Dihormati
Karena jadi orang tua harus lahir dari kesadaran, bukan tekanan sosial atau keinginan membalas budi di hari tua.
Saya bukan seseorang yang memilih untuk hidup childfree. Mungkin suatu saat saya akan menikah, mungkin juga akan punya anak. Tapi saya juga percaya bahwa punya anak bukanlah satu-satunya cara hidup yang sah, dan saya sepenuhnya mendukung keputusan orang-orang –seperti Gita Savitri. yang memilih jalan berbeda.
Masalah childfree sebenarnya bukan isu baru. Di banyak negara, pembahasan soal memilih untuk tidak punya anak sudah jadi bagian dari percakapan publik sejak lama. Tapi di Indonesia, isu ini masih sering memicu perdebatan antara yang pro dan kontra. Ada yang melihatnya sebagai bentuk kebebasan dan kesadaran diri, ada pula yang menganggapnya bertentangan dengan nilai budaya, agama, bahkan moral.
Beberapa waktu lalu, Gita menyuarakan opininya soal hidup childfree dan seperti biasa, internet meledak. Ada yang mendukung dengan argumen kebebasan dan pertumbuhan pribadi, tapi tak sedikit juga yang mencibir – menyebutnya egois, tidak bersyukur, bahkan menuduhnya melawan kodrat perempuan.
Bagi saya pribadi, justru Gita sedang menunjukkan sesuatu yang penting yaitu keberanian untuk hidup selaras dengan nilai diri sendiri, dan yang paling menyentuh yaitu usaha memutus warisan pola hidup yang penuh beban, luka, dan tekanan antargenerasi.
Saya tumbuh dalam lingkungan yang sangat menjunjung tinggi peran keluarga. Perempuan yang belum menikah dianggap belum lengkap dan kalau sudah menikah, ekspektasi berikutnya jelas kapan punya anak?
Tapi makin dewasa, saya mulai menyadari bahwa punya anak bukan soal kewajiban, apalagi soal kodrat. Membesarkan manusia lain butuh kesiapan yang luar biasa seperti emosional, mental, dan terutama finansial. Karena ketika anak dilahirkan dari orang tua yang tidak siap, maka pola luka, kemiskinan, dan trauma seringkali ikut dilahirkan bersamanya.
Salah satu hal yang membuat saya sangat menghormati keputusan childfree adalah karena saya tahu, di banyak keluarga, anak sering kali dianggap sebagai tabungan masa depan.
Kita semua pernah dengar kalimat ini
Nanti kalau kamu udah sukses, jangan lupa sama orang tua.
Kalimat itu bisa terdengar manis, tapi juga menyimpan tekanan tak terlihat. Anak seolah-olah diwajibkan membalas semua yang sudah orang tua berikan, tanpa peduli apakah anak tersebut tumbuh dengan cukup kasih sayang, dukungan mental, atau bahkan tanpa pernah diminta pendapatnya soal kehidupan yang dia jalani.
Kalau keputusan childfree bisa jadi cara untuk memutus warisan beban itu, saya sepenuhnya setuju.
Bukan Egois, Tapi Pilihan yang Penuh Kesadaran
Kita hidup di dunia yang kompleks. Kadang, pilihan hidup seseorang bukan sekadar ikut tren atau melawan norma, tapi lahir dari perenungan mendalam dan pengalaman pribadi yang nggak semua orang tahu.
Dalam teori Abraham Maslow, manusia berkembang melalui jenjang kebutuhan, dari yang paling dasar sampai ke aktualisasi diri. Ketika seseorang memilih childfree karena ingin fokus ke pengembangan diri, karier, atau kontribusi sosial – itu adalah bentuk pencapaian diri, bukan keegoisan.
Carl Rogers, tokoh psikologi humanistik lain, percaya bahwa manusia akan tumbuh sehat kalau hidupnya selaras dengan nilai diri mereka. Kalau seseorang memaksakan punya anak hanya karena “takut dicap aneh” oleh masyarakat, maka ia sedang hidup dalam konflik batin. Tapi ketika seseorang memilih dengan jujur, dan bertanggung jawab atas pilihannya, itu adalah congruence. Dan menurut saya, keputusan Gita adalah contoh nyata dari hal itu.
Selain itu Viktor Frankl dengan logoterapinya, menyampaikan bahwa hidup itu soal menemukan makna. Ada yang menemukan makna dalam menjadi orang tua. Tapi ada juga yang menemukannya dalam berkarya, menyembuhkan diri, atau menyuarakan suara yang tak terdengar. Saya percaya, semua bentuk hidup yang punya makna layak dihargai.
Saya tidak memilih hidup childfree. Tapi saya tidak keberatan dengan orang yang memilihnya. Bahkan, saya menghormatinya.
Karena saya tahu, tidak semua orang diberi pengalaman hidup yang ringan. Tidak semua orang lahir dari keluarga yang siap. Tidak semua orang ingin mengulang pola yang sama, hanya karena semua orang melakukannya.
Memutus rantai kemiskinan, rantai luka batin, dan pola pengasuhan yang tidak sehat, bukan hanya bisa dilakukan dengan bekerja keras. Kadang, itu juga harus dimulai dengan tidak memaksakan kehadiran anak di dunia yang belum siap menyambut mereka dengan layak.
Setiap orang punya alasan dan nilai hidup yang berbeda. Tugas kita bukan untuk memaksakan, tapi untuk memahami. Kita tidak pernah tahu luka apa yang coba disembuhkan seseorang dengan keputusannya. Kita tidak pernah tahu cerita apa yang melatarbelakangi sikap diam atau pilihannya yang tak lazim di mata umum.
Saya tidak childfree. Tapi saya akan selalu berdiri di sisi siapa pun yang memilihnya dengan sadar dan tanggung jawab.
Karena menurut saya, itu bukan bentuk egoisme tapi bentuk cinta.