Sitemap
Perspektif Perempuan

Ketika Lelaki dan Perempuan diciptakan dengan peran masing-masing, kita perlu terus belajar untuk saling memahami

Mengapa Kita Merayakan Hari Kartini?

4 min readApr 23, 2025

--

Masih dalam rangka hari Kartini, saya ingin membahas tentang buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang beliau tulis di abad ke-19, hingga beliau menjadi sosok pejuang pemikiran dan emansipator yang begitu dihormati di tanah air.

Berikut ini adalah beberapa kutipan dari buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” terjemahan Armijn Pane:

Jepara, 25 Mei 1899

“Aku ingin sekali berkenalan dengan seorang “gadis modern”. Dia yang sanggup berjalan tegak sendiri, bahagia dan mandiri, melangkah ringan dan sigap dalam perjalanan hidupnya, penuh antusiasme dan perasaan hangat; bekerja tidak hanya untuk kesejahteraan dan kebahagiaannya sendiri, tetapi untuk kebaikan kemanusiaan yang lebih besar secara keseluruhan.

Hati Wanita-wanita Jawa belum berubah. Banyak yang berpikir itu adalah suatu kehormatan untuk menoleransi dengan wajah yang tidak tergerak, satu atau lebih wanita yang dibawa pulang oleh suami mereka, tetapi tidak bertanya apa yang tersembunyi di balik topeng besi itu, atau apa yang bisa diceritakan oleh dinding tempat tinggal mereka ketika mata dunia dilepaskan. Ada begitu banyak hati wanita yang terbakar, dengan jiwa yang miskin, tidak bersalah, menderita, seperti anak kecil.

Dan kesengsaraanlah yang saya saksikan, bahkan di masa kanak-kanak saya, yang pertama kali membangkitkan dalam diri saya keinginan untuk berjuang melawan adat istiadat yang dihormati saat ini, dan menggantikan keadilan dengan tradisi lama.

Angkatlah perempuan Jawa, didik hatinya dan pengertiannya, dan kamu akan memiliki pekerja hebat untuk bekerja sama denganmu dalam pekerjaan mulia-mu, pekerjaan besarmu, pekerjaan membudayakan dan mencerahkan seluruh bangsa.

Ajarkan dia pekerjaan, sehingga dia tidak lagi tidak berdaya ketika wali memerintahkannya untuk membuat kontrak pernikahan yang pasti akan menjerumuskannya dan anak-anak yang mungkin dia miliki dalam kesengsaraan.

Satu-satunya jalan keluar dari kondisi seperti itu adalah agar gadis itu sendiri belajar menjadi mandiri.

Belum ada yang melakukannya, yang berani melakukannya.

Ide saya adalah untuk membuka, segera setelah saya memiliki sarana, yakni sebuah institut untuk anak perempuan.”

*) Catatan: tahun 1800 adat istiadat Jawa pada saat itu tidak membolehkan perempuan terdidik dan tidak boleh bekerja di luar rumah / menduduki jabatan dalam masyarakat. Perempuan itu harus takluk semata-mata dan tidak boleh mempunyai kemauan. Perempuan harus bersedia dinikahkan oleh pilihan orang tuanya. Perkawinan, cuma itulah cita-cita yang boleh diinginkan oleh anak gadis.

Melampaui Sekadar Seremonial

Kita semua ingat pelajaran sejarah jaman SD-SMP dulu yang isinya hanya menghafal kumpulan fakta seperti “R.A.Kartini lahir tahun sekian”, “menulis surat-suratnya tahun sekian”, dan sebagainya. Namun kita tidak pernah diajarkan ataupun diberi tahu apa sebenarnya isi buku dan pemikirannya.

Ide dan pemikiran Kartini memang sedemikian melampaui jamannya. Dari kutipan-kutipan suratnya, saya membayangkan Kartini bukan sekedar perempuan Jawa bersanggul dan berkebaya, tetapi seorang pemikir bebas, pemikir liberal dan merdeka dengan ide dan pemikiran yang sangat maju. Orang yang membaca surat-surat Kartini tidak akan menemukan perempuan lembut dan halus sebagaimana tampak di foto, tetapi perempuan gelisah dan pemberontak yang mempertanyakan dan menggugat norma budaya dan nilai-nilai sosial serta makna agama di sekitarnya. Kartini bukan sekedar seorang perempuan, tetapi salah seorang pribadi pertama di dalam sejarah Indonesia modern yang mencapai aufklarung atau enlightment — pencerahan akal budi.

Kartini yang Disunat oleh Sejarah

Tidak heran bila sebagian surat Kartini dihilangkan saat diterjemahkan oleh Armijn Pane. Tidak heran pula bila kini banyak pihak berusaha “menjinakkan” Kartini agar sesuai dengan narasi yang aman. Mungkin karena ini jugalah banyak pihak sekarang yang mencoba mengecil-ngecilkan atau bahkan menghilangkan peran Kartini. Kartini terlalu berbahaya. Terlalu maju. Terlalu mengguncang.

Merayakan Kartini dengan Cara yang Lebih Bermakna

Kemarin saya bertemu dengan rombongan murid Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar berpakaian kebaya. Dulu waktu saya masih bekerja, kantor saya pun juga merayakan tiap tahunnya. Lucu memang, kita merayakan hari Kartini dengan berpakaian dan berdandan ala jaman dulu, bukan dengan berpikir maju dan terbuka seperti seorang Kartini pada masanya.

Kenapa kita merayakan hari Kartini? Apakah karena tradisi sejak jaman SD dan acara-acara sekolah, atau karena kita memang mengerti dan memahami pandangan-pandangan dan pemikiran beliau? Berapa banyak dari kita yang merayakan hari Kartini karena membaca dan mengagumi pemikirannya dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, dan bukan karena disuruh ibu guru, atau karena rutinitas tahunan kalender belaka?

Kita harus membaca ulang Kartini. Bukan hanya karena ia perempuan, tapi karena ia manusia visioner yang menulis tentang ide-ide yang masih relevan hingga kini:

  • Kebebasan berpikir
  • Kesetaraan hak
  • Pendidikan untuk semua
  • Kritik terhadap patriarki dan struktur sosial yang tidak adil

Penutup: Dari Peringatan Seremonial Menuju Kesadaran

Sayangnya, sekarang semua potret tentang Kartini dan pemikirannya hanya sedikit yang tahu. Kita seakan buta sejarah dan hilang ingatan. Akibatnya kita mengerdilkan Kartini sedemikian rupa, hingga Hari Kartini yang kita rayakan tiap tahun tidak lebih dari hari seremonial berkebaya, atau acara lomba masak memasak, dan menata sanggul.

Jika kita benar-benar ingin menghormatinya, maka bacalah ulang surat-suratnya. Pertanyakan kembali narasi yang selama ini kita telan bulat-bulat.

Jadikan Kartini bukan sekadar lambang, tapi inspirasi untuk berpikir dan bertindak lebih berani. Karena seperti yang ia tulis sendiri, “Satu-satunya jalan keluar dari kondisi seperti itu adalah agar gadis itu sendiri belajar menjadi mandiri.”

Semoga bermanfaat.

Perspektif Perempuan
Perspektif Perempuan

Published in Perspektif Perempuan

Ketika Lelaki dan Perempuan diciptakan dengan peran masing-masing, kita perlu terus belajar untuk saling memahami

Dewi Cahyanti
Dewi Cahyanti

Written by Dewi Cahyanti

Indonesia | Book enthusiast | A mother who loves writing

Responses (2)