Kuliah Tinggi, IPK Cumlaude, Tapi Jadi IRT — Memangnya Kenapa?
Sebuah surat terbuka untuk siapa pun yang masih menganggap ibu rumah tangga itu “tidak sukses.”
“Sayang banget kamu kuliah tinggi, IPK cumlaude, tapi cuma jadi ibu rumah tangga.”
Kalimat ini keluar dari ibu saya sendiri — perempuan yang saya kagumi karena kerja keras dan perjuangannya. Tapi jujur, kalimat itu menyakitkan.
Saya memilih menjadi ibu rumah tangga setelah menikah. Bukan karena tidak punya pilihan lain, tapi karena saya sadar: saya ingin hadir penuh untuk anak-anak, menjaga rumah, dan membangun kehidupan keluarga yang hangat. Tapi rupanya pilihan ini dianggap “sayang-sayangin ijazah.”
Apakah menjadi ibu rumah tangga berarti gagal? Tidak berdaya? Tidak keren?
Ibu saya adalah ibu pekerja. Ketika saya dan adik masih kecil, kami diasuh oleh kakek dan nenek. Sejak muda, ia bekerja di restoran dan hotel selama 14 tahun, lalu lanjut bekerja 10 tahun di perusahaan minyak kelapa sawit. Tujuannya jelas: menopang ekonomi keluarga.
Pengalaman hidup ibu saya membentuk keyakinan bahwa:
Sukses = gaji besar
Produktif = kerja kantoran
Ibu rumah tangga = tidak menghasilkan → tidak dihargai
Ia melihat dunia dengan kacamata perjuangan finansial. Dan karena itu, sulit baginya menerima bahwa anaknya yang “cerdas” justru memilih “tinggal di rumah.”
Narasi Sosial: IRT Dianggap Tidak Produktif
Sayangnya bukan cuma ibu saya yang berpikir begitu. Banyak dari kita dibesarkan dengan narasi seperti:
“Kuliah tinggi, masa cuma ngurus dapur?”
“Jangan tergantung sama suami.”
“Ibu rumah tangga tuh kerjaannya santai doang.”
Narasi ini diperkuat oleh media yang mengglorifikasi pencapaian profesional, budaya hustle yang mengukur nilai seseorang dari penghasilan, serta kurangnya representasi positif tentang ibu rumah tangga.
Akibatnya, banyak perempuan merasa bersalah saat memutuskan jadi ibu rumah tangga. Padahal pekerjaan domestik juga berat, penting, dan berdampak besar. Menjadi IRT bukan berarti diam dan tidak berkembang. Justru sebaliknya.
Ibu rumah tangga adalah:
- Pendidik pertama anak-anak
- Manajer keuangan rumah tangga
- Ahli nutrisi keluarga
- Psikolog yang menjaga kestabilan emosi keluarga
- Support system utama suami
Saya banyak berteman dengan sesama ibu rumah tangga yang juga lulusan S-1, bahkan S-2 dari kampus-kampus ternama.
Ketika menjadi ibu rumah tangga pun mereka benar-benar mencari cara terbaik mendidik anak, menjaga kesehatan anak, mengatur keuangan, dan sebagainya. Tentu mereka — dan saya juga — masih perlu banyak belajar. Tapi yang jelas para ibu rumah tangga ini tak sekadar membesarkan anak dan mengurus rumah.
Mereka juga tetap mengembangkan bakat dan minat, misalnya menulis, berkebun, membuat hasil karya untuk dijual, macam-macam. Melihat mereka, ditambah menjalani sendiri peran ini, pandangan saya tentang ibu rumah tangga mulai bergeser. Ibu rumah tangga ternyata tidak se-leyeh-leyeh yang saya kira.
Konflik Emosional: Antara Harapan Orang Tua dan Pilihan Kita
Saya tidak marah pada ibu saya. Saya paham bahwa ia tumbuh dan menjalani rumah tangga dalam kondisi yang berbeda. Tapi tetap saja, kadang rasanya perih ketika pilihan hidup kita dianggap remeh.
Komentar seperti:
“Kamu kan bisa kerja.”
“Kamu punya skill, jangan disia-siain.”
“Sayang ijazahmu kalau cuma jadi IRT.”
… bisa membuat kita mempertanyakan pilihan sendiri.
Tapi setelah saya renungi:
- Saya bahagia kok dengan hidup saya
- Suami masih bisa kok memenuhi kebutuhan saya dan anak-anak
- Anak-anak tumbuh dekat dengan saya.
- Suami bekerja lebih tenang karena tahu rumah dan anak terurus.
Bukankah itu juga pencapaian?
Kita perlu mulai mengubah definisi “sukses” dan “berdaya” dari versi lama yang sempit, menjadi versi yang lebih inklusif dan relevan. “Aku bukan cuma ibu rumah tangga. Aku penentu masa depan anak-anakku. Aku penjaga bahagia keluargaku.”
Merayakan Semua Perempuan, Apapun Perannya
Perempuan hari ini punya lebih banyak pilihan. Dan apapun pilihan itu:
- Jadi ibu rumah tangga sepenuh waktu,
- Bekerja sambil tetap mengurus anak,
- Freelancer dari rumah,
- Ibu pekerja,
Semua valid. Semua layak dihormati.
Kita tidak sedang berlomba siapa yang lebih hebat. Kita sedang berjuang agar semua perempuan bisa merasa cukup, dihargai, dan bahagia.
Karena:
- Rumah yang nyaman dimulai dari ibu yang tenang.
- Anak-anak yang percaya diri dibentuk oleh ibu yang hadir.
- Suami yang sukses seringkali didukung oleh istri yang tak banyak bicara, tapi banyak doa dan perbuatan.
Jadi, kalau kamu saat ini adalah ibu rumah tangga — baik karena pilihan atau keadaan — peluklah peranmu. Kamu tidak “cuma” ibu rumah tangga. Kamu adalah segalanya untuk rumah tanggamu.
Mungkin dunia tak melihatmu, tapi Tuhan tahu kamu sedang membangun pondasi peradaban— dari dapur kecilmu, dari ruang tamu berantakanmu, dari peluk hangatmu ke anak-anak.
Semoga bermanfaat.