Jalan Pulang ke Dalam Diri
Ketika logika dan perasaan berdamai
Dulu saya sering merasa menjadi perempuan adalah perkara mencintai terlalu dalam, merasakan terlalu tajam, dan berpikir terlalu lama.
Bukan karena saya lemah, tapi karena saya hidup dengan seluruh indera yang terbuka —seolah setiap luka bisa terasa sampai ke tulang, dan setiap kebahagiaan bisa menetes sampai ke jiwa yang paling sunyi.
Kata orang, perempuan itu makhluk perasa.
Kata dunia, logika bukan ranah utama perempuan.
Padahal, sering kali justru perasaanlah yang membuat saya bertahan hidup, dan logika yang membuat saya tetap berdiri ketika dunia runtuh di dalam kepala.
Namun, saya selalu merasa tidak utuh jika hanya mengikuti perasaan. Seperti ada sesuatu yang kurang. Saya pun kerap merasa hampa saat memaksa logika mengambil alih semua keputusan.
Seolah saya sedang menyeimbangkan dua kutub dalam diri saya —yang satu ingin terbang ke langit karena cinta, dan yang satu ingin tetap berpijak karena akal.
Saya sempat mengira sepertinya saya harus memilih, yaitu menjadi yang rasional, atau yang emosional. Seperti menjadi batu karang, atau menjadi samudra.
Keduanya kokoh dan dalam, tapi tak pernah bisa menjadi satu kesatuan —begitu pikir saya waktu itu.
Lalu saya bertemu sunyi. Bukan sunyi yang kosong dan hampa, tapi sunyi yang hadir saat saya duduk diam, memejamkan mata, dan membiarkan napas menjadi satu-satunya suara yang merasuki seluruh sendi tubuh.
Sunyi yang tak menghakimi, tak menuntut, hanya menjadi saksi keberadaan saya —apa adanya. Itulah pertama kalinya saya mengenal meditasi.
Awalnya saya mengira meditasi hanya soal menenangkan pikiran yang riuh seperti badai yang tiada henti.
Ternyata tidak, meditasi adalah jalan pulang. Pulang ke dalam diri sendiri —tempat di mana logika dan perasaan bukan kedua kutub yang saling menjauh, tapi dua tangan yang bisa saling menggenggam dan melengkapi.
Di dalamnya, saya tak perlu memilih siapa yang harus berbicara lebih dulu, karena semua suara mendapat tempat untuk didengar.
Kadang saya bermeditasi di dalam diam, di bawah cahaya temaram, hanya bernapas dan tubuh saya perlahan kembali utuh dan menyeluruh.
Tak ada yang harus saya capai, tak ada yang harus saya perbaiki. Hanya keberadaan saya yang sepenuhnya hadir, dan itu cukup.
Namun tak jarang, saya menemukan keheningan di dalam langkah.
Berjalan di sepanjang pantai saat senja akan menjemput, membiarkan angin menyentuh wajah, seolah menghapus segala resah yang seperti enggan meninggalkan diri.
Langkah-langkah itu seperti doa yang tak terucap – hanya tubuh yang berbicara, hanya semesta yang menjawab.
Mendengarkan ombak yang datang silih berganti seperti pertanyaan-pertanyaan kehidupan yang tidak perlu dijawab, dan membiarkan butiran pasir menyentuh kaki. Seolah saya mampu merasakan setiap butirnya. Semua itu mengingatkan saya bahwa saya masih terhubung dengan bumi.
Bahwa saya masih nyata. Masih hidup. Masih bisa merasa, dan itu adalah anugerah, bukan kelemahan.
Itulah bentuk lain dari meditasi yang membuat saya merasa menjadi manusia utuh —ketika lelah tak dapat ditempatkan di manapun di sudut bumi ini.
Meditasi yang tak membutuhkan posisi duduk tertentu atau mantera tertentu —cukup keberanian untuk hadir sepenuhnya dalam momen yang sederhana.
Berjalan, bukan untuk sampai, tapi untuk hadir, untuk mendengarkan yang tak kasat oleh telinga, dan merasakan yang tak tersentuh logika.
Dalam setiap langkah, saya bukan sedang mencari jawaban, tapi sedang membiarkan hidup membisikkan apa yang sebenarnya penting.
Dalam diam dan langkah, saya menyaksikan pikiran saya berlari dan perasaan saya melompat-lompat. Namun tidak satupun dari mereka saya tolak keberadaannya. Keduanya saya izinkan hadir, duduk bersama, bernapas bersama.
Mereka bukan musuh yang harus dikalahkan, tapi sahabat yang selama ini hanya ingin didengar dan diterima.
Rasanya seperti, perasaan tidak lagi memaksa saya tenggelam, dan logika tidak lagi menyeret saya menjauh dari apa yang saya rasakan.
Ada ruang yang cukup di dalam diri untuk keduanya saling memahami. Untuk menjadi rumah yang tak lagi membelah antara “harus” dan “ingin.”
Dalam keheningan itu, saya belajar bahwa saya tidak harus memilih. Saya bisa menjadi langit yang luas, cukup lapang untuk menampung badai, tapi juga cukup jernih untuk membiarkan cahaya masuk.
Saya juga bisa menjadi danau yang tenang, mencerminkan kedalaman, tanpa menghilangkan kejernihannya.
Dan dari kejernihan itu, saya mulai melihat diri saya sendiri —bukan sebagai sosok yang salah karena merasa terlalu dalam atau berpikir terlalu keras, tapi sebagai perempuan yang utuh karena memeluk semuanya.
Meditasi bukan sekedar latihan untuk diam. Ia adalah seni mendengarkan yang tak terucap, menerima yang tidak ingin disadari, dan mengizinkan semua bagian dari diri untuk ada tanpa perlu ditolak, dihakimi, atau disangkal.
Itu bukan cara untuk menghindar dari hidup, melainkan cara untuk hadir di dalamnya —dengan seluruh kesadaran, bahkan ketika hati sedang retak.
Dari sanalah saya tahu bahwa keseimbangan bukan soal adil membagi dua, tapi keseimbangan adalah tentang menyatukan.
Tentang memahami kapan harus merasa, dan kapan harus menimbang. Kapan harus meresapi, dan kapan harus melepaskan.
Jadi, “makhluk perasa” hanyalah sebuah pendapat umum yang belum menemukan kedalaman dan keseimbangan.
Sebab, di dalam diri saya, ada ruang untuk berpikir jernih sekaligus mencintai dengan dalam.
Ada jiwa yang tak harus memilih jadi kuat atau lembut —karena ternyata, saya bisa menjadi keduanya.
Lalu meditasi —baik dalam diam maupun dalam langkah —telah mengantarkan saya ke sana, ke tempat di mana perasaan dan logika akhirnya berdamai.
Tempat yang selama ini saya cari, tapi ternyata sudah lama tinggal di dalam diri. Saya hanya harus menjemputnya kembali dan menjadi bagian utuh di dalam diri.