Buku Terbuka Penjemput Belahan Jiwa
Jejak ke-113, sebelum memancing, lempar umpan dulu
Semakin dewasa maka semakin enggan berkenalan. Begitu kata Soren Kierkegaard dalam bukunya, Works of Love. Fenomena yang kini tengah muncul di permukaan baru-baru ini.
Teman-teman saya yang masih belum menikah merasakan hal serupa. Enggan memulai dari nol sebuah hubungan karena sudah terbaca polanya. Akhirnya sekadar menjalani rutinitas saja, tanpa coba-coba.
Apa memang tidak ada yang memicu obrolan hangat? Bagi saya selalu ada. Kecuali lawan bicara memang menutup diri. Apalagi kita kehabisan topik untuk membuatnya membuka diri.
Berada di pilihan buntu akan membuat kita lebih baik berpindah buku lain. Tentu jalur langit berguna melembutkan gembok si pemilik buku, kan?
Begitu pada titik putus asa lewat jalur langit, akan lebih baik move on. Membuka diri pada kemungkinan lain. Bukankah satu gelas hanya bisa diisi satu jenis minuman saja agar lebih paripurna?
Kecuali ingin diisi macam-macam jenis, itu soal selera. Jika dirasa energi sehari-hari terbatas, tidak ada salahnya selektif, kan?
Dari dulu saya mengambil pilihan menjadi buku yang terbuka. Menceritakan diri sendiri di medsos agar orang tidak kikuk ketika bertemu.
Orang lain akan mudah bertanya seputar yang pernah saya unggah di medsos. Entah bapak-bapak yang bertanya kemarin ke bengkel mana, atau adik-adik yang berkomentar di cerita saya.
Trik menjadi buku terbuka ini hadir karena saya sadar sebagai ambivert. Kemauan basa-basi ini punya batas. Kadang kala menunggu dipancing dulu untuk bisa berbincang lancar.
Saya menanggapi orang lain juga butuh kondisi serba ideal. Bagi saya yang pemuja hal baru, sesuatu yang bisa diprediksi akan mudah dilewatkan. Komunikasi sosial membosankan sering kali membuat saya kelelahan setelahnya.
Mencari jodoh mungkin bisa juga pakai cara jadi buku terbuka. Menunjukkan cerita kita agar orang lain bisa menyamakan atau mengerti perbedaan.
Jika agama menyarankan lihat akhlak, saya menambahkan pola pikir. Diskusi adalah hal pasti untuk mencari persamaan juga perbedaan. Tanpa dialog, akan susah menggali kedalaman logika dan jiwa seseorang.
Akan lucu ketika terpesona pada penampilan fisik dan agama saja. Begitu diajak diskusi seperti dialog dengan tembok. Sebatas monolog yang tidak menghasilkan solusi bersama. Sebaliknya juga sama, asyik mengobrol ternyata akhlak berantakan atau fisik tidak dipedulikan.
Apakah berarti mencari kesempurnaan? Tentu saja tidak. Hanya melihat sisi yang bisa kita terima sebagai bentuk kompromi. Bentuk toleransi yang juga pasti punya batas.
Berpakaian asal-asalan mungkin bisa diterima ketika secara ekonomi sudah mapan. Sebaliknya, hidup sederhana diterima selama perilaku baik. Hal seperti ini sangat personal dan butuh kejujuran antar pihak.
Menyangkut teman berpeluang jadi pasangan juga perlu keterbukaan. Dimulai saja dari pertemanan biasa. Nyaman berbincang, dibuktikan peduli tidak hanya lewat kata.
Waspada tidak hanya dimanfaatkan sebagai jasa ojek pribadi atau ATM berjalan. Saya pikir ini alasan cinta dinomorduakan ketika masih tahap perkenalan. Membangun kepercayaan dan kedekatan didahulukan.
Perkenalan adalah fase membuka buku. Rumi dalam Masnavi menyebut bahwa pecinta sudah bertemu sejak lama. Fenomena ini tidak hanya berlaku pada lawan jenis. Bertemu dengan orang baru serasa teman atau malah saudara lama juga biasa terjadi.
Kesamaan antusias berbincang topik tertentu juga bisa jadi penanda jodoh. Seperti saat secara acak membuka lembaran dalam buku. Tiba-tiba menemukan jawaban yang dicari.
Asyik berdiskusi dan seimbang emosi adalah kunci. Dari bab kesatu berbincang umum sampai mulai masuk ke bab tengah, seputar inti sebuah buku. Mengobrol sampai lupa waktu, seperti larut membaca bab demi bab.
Lambat laun mulai memahami pola hubungan teman bicara dengan Sang Pencipta. Bukan mencari kepastian tiap beragama pasti baik dalam keseharian. Hanya saja ada harapan menuju damai bersama ketika hubungan dengan Tuhan juga harmonis.
Soren Kierkegaard menyebutkan dilema di atas dalam Either/Or pada tahun 1843. Ia menyebutkan pilihan menikah dan tidak menikah sama-sama berakibat sama. Kebahagiaan dan penyesalan akan menyapa dua kondisi itu. Tidak ada yang tahu sampai menjalani dan menerima kenyataan sepenuh hati.
Persis kucing Scrodinger yang hidup-matinya tidak kita ketahui sampai kita buka isi kotak. Begitu juga hidup dalam pandangan Soren Kierkegaard. Sama-sama punya peluang. Perlu keberanian untuk buka tabir realita dan menghadapi apapun hasilnya.
Toh, tugas kita hidup di bumi ini selalu bersanding dengan sepi dan derita, kan? Plato dalam Symposium menyebut bahwa manusia adalah separuh dari yang lainnya. Hasrat menemui separuh jiwa perlahan membentuk resah tanpa sebab.
Kita butuh bertemu orang lain untuk merasa utuh. Bagi perantau tentu paham rasanya ketika di kosan dan tengah sakit. Tanpa teman atau saudara yang merawat, kita hanya bisa pasrah pada nasib.
“Dan termasuk dari hak suami adalah bersikap lembut dan menyenangkan istri, serta menjadikan dirinya sebagai sahabat yang baik dalam segala kondisi.” Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi — Mukhtashar Minhaj al-Qashidin.
Seringkali kita berjumpa pasangan yang berasal dari pertemanan, kan? Saya sering menyimak siniar dari Gina dan Qinos. Keseruan mereka menyikapi hidup berkeluarga menarik disimak. Siapa sangka jika mereka juga punya drama sedari perkenalan?
Setelah berkomitmen barulah sama-sama berbagi beban. Kelembutan dan saling ingin menyenangkan adalah kunci. Entah dengan saling mendengarkan atau memberi saran. Akan lebih asyik ketika dari teman naik tingkat menjadi sahabat, kan?
Bahkan Imam Ghazali dalam Kitab Adab Nikah, Ihya Ulumuddin menuliskan tiga trik pasangan suami istri harmonis. Dari bersikap lembut dilanjutkan sesekali bercanda bersama.
Dipungkasi memperlakukan pasangan sebagai sahabat karib. Sangat universal dan bisa diterapkan sedari perkenalan, kan?
Topik seputar split bill pun pasti tidak bisa dihindari, kan? Saya yang sedari sebatas teman pun sering patungan ambil jalan ini. Saat sekelas SMA, saya sering titip uang untuk beli jajan pada istri ketika bel istirahat berbunyi. Saat itu kami sama-sama tidak tahu bahwa akan menjadi pasutri.
Untunglah Imam Ibnu Jauzi dalam Shaid al Khatir beri pembelaan. Ia menyebut bahwa kebahagiaan sejati rumah tangga bukan tergantung pada banyak harta. Justru pada kehangatan jiwa saat saling memahami dan menemani yang jadi kunci. Bukankah ini relevan bahkan ketika masih PDKT?
Pertanyaannya, di tengah zaman serba material, bisakah kita menemukan satu yang sepakat dengan Ibnu Jauzi itu? Nah, di sinilah momentum penting untuk didiskusikan dengan calon pasangan.
Mencari simbiosis mutualisme di antara dua pihak. Apakah ada pilihan? Bisa jadi memilih saling peduli dan perhatian. Mungkin juga memihak dunia berkelimpahan tapi terasa kering komunikasi. Titik ideal memang seimbang di antara dua kutub ini. Tapi, langka sekali, kan?
“Ketika Allah menciptakan pasangan, Dia tidak berkata: agar kalian sekadar menikah, tapi agar kalian mendapatkan sakinah — ketenangan jiwa yang didapat dari keintiman dan persahabatan.” -Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam tafsir Q.S. Ar-rum ayat 21.
Syekh Sya’rawi memaknai sakinah dalam ayat tersebut tidak berdiri sendiri. Ia hadir melalui kebersamaan. Muwaddah juga tidak bisa hadir tanpa relasi setara juga bersabat. Kondisi ini seperti oase di tengah padang gersang keseharian. Mereguk tenang usai letih menjalani kehidupan.
Bukankah tren “marriage is scary” tergantung kepada pasangan? Proses dari perkenalan hingga beradaptasi saling menerima dan kompromi adalah kunci.
Hal yang bisa dilihat ketika dalam fase saling mengenal. Teman hidup berawal dari teman menjalani keseharian akan lebih terbukti, kan?
Tanpa pernah berani memulai membuka sebuah buku, bagaimana kita bisa tahu isinya? Bukankah butuh keberanian untuk memperjuangkan buku yang menarik perhatian? Apalagi jika ingin mengejar berisi tanda tangan si penulis. Begitu juga teman hidup, beranikah memulai untuk berkenalan dan menerima keadaan?