Tangan Ibu, Akar Bumi
Tangan-tangan yang terampil itu menjelma menjadi akar, memeluk inangnya, mengasuh sepenuh hati, agar ia bisa bernafas lebih lama lagi.
Kesadaran saya akan pentingnya menjaga lingkungan sebetulnya baru benar-benar tumbuh ketika SMA. Praktik membuang sampah atau kegiatan 3R memang sudah familiar sejak kecil, namun untuk persoalan pemilahan sampah, saya baru menyadari urgensinya setelah membuat esai bebas untuk tugas sekolah. Memilah sampah dapat mengurangi beban TPA, mendukung proses daur ulang, menghemat energi, dan bahkan mencegah pencemaran lingkungan.
Saya kembali teringat bagaimana praktik pemilahan sampah dilaksanakan di pesantren saya sewaktu SMA. Ummik (panggilan untuk pengasuh kami), resah ketika melihat banyaknya sampah di pesantren, bahkan sampai tidak muat di keranjang sampah. Waktu itu kami memang dibebaskan untuk jajan atau membeli makanan di luar pesantren setiap harinya. Jadi volume sampah yang terlalu banyak itu ya hasil dari jajan jajan kami.
Tentunya langkah yang diambil ummik untuk mengatasi hal tersebut adalah membatasi waktu jajan kami, hanya boleh membeli makanan di luar pesantren di hari Jumat (ini keputusan yang menyedihkan untuk kami yang suka jajan). “Biar tidak boros. Kasihan Cak Di juga nanti ngurus sampahnya”, kata ummik.
Selanjutnya, ummik mengutus kami untuk memilah sampah, organik dan anorganik. Saya baru tau kalau Cak Di yang kebagian mengurusi sampah, punya tugas dua kali apabila kami tidak memilah sampah. Dia bisa lebih lama berkutat dengan sampah karena kami tidak memilahnya langsung ketika membuang sampah.
Kebiasaan memilah sampah itu rupanya juga saya temui di rumah. Sejak lama ibu saya sudah terbiasa memisahkan sampah rumah tangga. Sampah organik seperti sisa sayur dan kulit buah biasanya dijadikan satu untuk kemudian dijadikan pupuk tanaman.
Saya melihat tanaman-tanaman di rumah merasa senang saat diberi pupuk organik itu, buktinya mereka tumbuh dengan baik dan jarang “rewel”. Sementara itu, sampah anorganik seperti kardus biasa dikumpulkan untuk dijual ke pengepul.
Selain itu, bapak juga punya kebiasaan untuk menggunakan kembali wadah-wadah plastik yang telah menjadi sampah anorganik, untuk dijadikan pot tanaman. Tidak heran kalau kebun rumah kami seperti etalase toko kelontong, dengan berbagai warna dan merk mulai dari kaleng biskuit lebaran, wadah minyak sampai ember cat. Kalau estetika berkebun dinilai dari keserasian pot, kebun bapak jelas kalah jauh. Tapi justru itu yang bikin kebunnya spesial, berantakan tapi fungsional.
Dari ibu dan ummik, saya belajar bahwa menjaga lingkungan tidak selalu harus dimulai dari kampanye besar-besaran. Seringkali, perubahan dimulai dari hal-hal kecil yang konsisten dilakukan di dalam rumah. KTT Bumi Rio de Jeneiro dalam prinsip ke-20 Deklarasi Rio menyatakan:
Women have a vital role in environment management and development. Their full participation is therefore essential to achieve sustainable development
Terkait persoalan sampah, perempuan memiliki peran di rumah untuk mengendalikan produksi sampah plastik dengan cara meminimalisir penggunaan plastik saat berbelanja. Dalam pengelolaan
sampah, perempuan yang memegang langsung pekerjaan domestik dapat membiasakan diri dan menjadi contoh dalam melakukan pemilahan sampah.
Mereka juga bisa menjadi fasilitator utama dalam membangun kesadaran memilah sampah dengan mengajarkan anak-anak sejak dini, mengajak anggota keluarga lain untuk ikut terlibat, bahkan menciptakan sistem yang sederhana namun efektif di rumah.
Saya jadi membayangkan kalau semua ibu bisa seperti ummik di pesantren dan ibu saya di rumah lalu mereka bersatu dalam satu gerakan lingkungan, pasti akan ada banyak perubahan. Malah mungkin saja agenda arisan bisa menjelma menjadi ajang bertukar tips soal memilah sampah sampai bagaimana pemanfaatannya.
Gosip-gosip ringan bisa bergeser jadi soal siapa yang berhasil panen sayur dari pupuk organik buatan sendiri. Saya percaya, tangan-tangan ibu dapat mengumpulkan kesadaran bahwa perubahan besar bisa dimulai dari kebiasaan kecil di rumah. Dari tangan-tangan itulah, bumi dapat tumbuh kembali.