Ingin atau Butuh?
Kegelisahan dari seorang yang hobi belanja.
Bisa dibilang, hidup kita sekarang itu sangatlah dimanja, terlebih untuk urusan belanja. Sebagai generasi yang besar di era tahun ‘90-an, tidak pernah terbayangkan kalau kegiatan belanja nantinya cuma akan bermodalkan jempol, tidak perlu keluar rumah apalagi berdandan, dan bisa dilakukan sambil tiduran.
Mungkin tidak secanggih bayangan mobil terbang yang dulu saya tonton di acara televisi “Beyond 2000”. Setidaknya, untuk saat ini, bisa belanja secara online sudah cukup terbilang canggih. Apalagi ada banyak keuntungan yang bisa kita nikmati lewat belanja online: Harga barang bisa jauh lebih murah dibandingkan dengan harga di toko offline, ditambah dengan tersedianya berbagai voucher potongan harga diskon dan ongkos kirim yang gratis. Rasanya sulit untuk nggak tergoda.
Tapi, ada hal yang diam-diam mulai mengganjal di pikiran.
Mungkin kita tidak sadar, tapi pernahkah memperhatikan bagaimana kita sudah menjadi sedemikian konsumtifnya hingga sehari saja tidak checkout barang dari keranjang belanja atau wishlist, seperti ada yang kurang?
Dengan maraknya aktivitas banting harga, bagi-bagi voucher, dan segala bentuk promosi yang ditawarkan, saya mulai membatin.
“Apa iya mengajak masyarakat untuk terus berbelanja dengan iming-iming harga spesial untuk jangka waktu terbatas (untuk membangkitkan rasa FOMO dan mendorong impulsive buying) adalah hal yang tepat untuk kita lakukan?”
Promosi-promosi semacam BOGOF (buy one get one), diskon mulai xx%, cashback s/d xxRB, atau program “Tebus Murah” seringkali jadi alasan untuk kita membeli sebuah barang yang sebenarnya belum tentu kita butuhkan. Memang, membeli barang yang biasa kita pakai dengan harga lebih rendah dari biasanya serasa sebuah prestasi, tapi apa kita sampai harus beli satu lagi T-shirt hitam walaupun di rumah sudah punya tiga?
“Mumpung diskon!”
“Checkout dulu aja, lah. Kapan lagi? YOLO (You Only Live Once)!”
Kalimat-kalimat itu yang juga seringkali saya dengar (atau pakai) sebagai alasan untuk membeli suatu barang meski sebenarnya nggak butuh-butuh amat (saya nggak mau munafik, saya pun termasuk oknumnya). Terlebih untuk barang-barang dari kategori fashion dan beauty, dua kategori yang paling menggoda promonya di jagad belanja online.
Dan kebetulannya lagi, kedua kategori ini dirasakan sudah mulai overconsumed (dikonsumsi secara berlebihan) oleh konsumen.
Yang dimaksud dengan “overconsumption” adalah perilaku konsumsi (termasuk pembelian) atau penggunaan berlebihan dari barang dan jasa yang dapat merusak atau merugikan manusia dan/atau lingkungan. Merugikan manusia ini bisa dalam bentuk dana yang habis sehingga mengganggu kemampuan kita untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya atau obsesi untuk terus membeli barang agar tetap up-to-date.
Sementara merugikan lingkungan bisa dalam bentuk barang yang dibeli menumpuk menjadi sampah atau bahkan kandungan dari sebuah produk yang mencemari air dan tanah tempat kita tinggal.
Overconsumption memang sedikit banyak dipengaruhi oleh marketing dan advertising (periklanan), dengan eksistensi yang cukup masif di depan-belakang-kiri-kanan kita. Tapi, overconsumption bisa juga dipicu oleh faktor psikologis, seperti kebiasaan belanja secara impulsif, menjadikan kegiatan belanja sebagai pelampiasan emosi (emotional spending), hingga kesulitan untuk mengontrol kebiasaan konsumsi kita sendiri.
Jujur, saya sendiri paling sering jatuh ke dalam jebakan belanja impulsif. Semudah itu tergoda untuk checkout barang dari aplikasi e-commerce setelah melihat ada influencer yang menggunakan barang tersebut di media sosial. Padahal, belum tentu barang itu sesuatu yang saya butuhkan.
Belum lagi godaan belanja yang juga bisa dipengaruhi oleh brand-brand yang rajin merilis produk atau koleksi baru dalam rentang waktu yang cenderung pendek, terlebih di kategori beauty dan fashion. Pasti aware kan, hanya dalam hitungan bulan, sebuah brand bisa rutin merilis koleksi baru? Baru rilis koleksi baru dua bulan lalu, sudah mulai menyebarkan teaser untuk koleksi terbarunya minggu depan. Serasa diajak kejar-kejaran yang entah di mana garis finish-nya berada.
Berbagai kemudahan dalam berbelanja pada zaman ini ibarat sebuah kemerdekaan untuk kalangan konsumen, namun kemerdekaan ini bisa jadi mulai kebablasan. Mungkin sudah saatnya untuk mulai mengintrospeksi, apa yang kita cari melalui kegiatan belanja? Apakah memang benar-benar butuh, sekadar lapar mata atau cuma karena takut FOMO?
Sebelum checkout, coba tanya pada diri sendiri: Beli barang ini karena ingin atau butuh? Seberapa sering akan pakai barang ini? Kalau beli barang ini, masih ada dana untuk memenuhi kebutuhan lain, nggak? Apakah barang ini akan membuat hidup saya lebih baik?
Coba kita tanyakan pada diri sendiri.