SPIRITUAL
Apa Pentingnya Hidup Beragama?
Apakah agama masih relevan di dunia modern?
Pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini nampak sangat dasar, bukan? Sebagian orang bahkan mungkin akan berpendapat bahwa pertanyaan tersebut sangat mudah dijawab. Indonesia lebih-lebih merupakan salah satu negara paling religius di dunia, jadi tidak aneh sih kalau memang banyak yang beranggapan demikian.
Tunggu! Kata siapa Indonesia termasuk negara paling religius? Riset!
Menurut , 93% masyarakat Indonesia meyakini agama sebagai aspek kehidupan yang sangat penting; 84% berdoa setiap hari; dan 72% selalu menghadiri ibadah mingguan. Pada kategori pertama dari tiga yang baru saja tersebut, hanya ada 4 negara yang mengungguli Indonesia: Ethiopia (98%), Senegal (98%), Mali (94%), dan Pakistan (94%).
Dalam riset yang sama, kalian akan menemukan Indonesia menorehkan skor sempurna dalam satu kategori lainnya, yaitu persentase masyarakat yang terafiliasi akan suatu agama.
Wah, keren dong! Ternyata memang Indonesia itu sebegitu agamis, ya!
Eits, perlu diingat bahwa memilih salah satu dari enam agama yang resmi diakui pemerintah atau menjadi penghayat kepercayaan adalah kewajiban di Indonesia. Ada kolom tersendiri untuk agama di KTP. Jadi, angka 100% untuk Indonesia adalah sudah sepantasnya, bukan sebuah prestasi.
Bagaimana dengan realita di lapangan? Apakah memang semua orang di Indonesia memeluk suatu agama tertentu? Penulis rasa para pembaca pun sudah tau apa jawabannya.
Contoh terbaru adalah yang diajukan pada Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Raymond Kamil dan Indah Syahputra pada Oktober 2024 lalu. Dalam gugatan mereka, keharusan untuk beragama secara administratif (alias tercatat di KTP dan data kependudukan lainnya) dianggap melanggar kebebasan untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan tertentu yang kemudian berdampak pada dialaminya kesulitan dan/atau dilema kala mengurus hal seperti pernikahan, pendidikan, dan pelayanan publik.
Gugatan tersebut namun pada 3 Januari 2025. Menurut MK, konsep kebebasan beragama dalam konstitusi memang tidak memberi ruang bagi warga negara untuk tidak beragama atau tidak percaya akan Tuhan Yang Maha Esa dikarenakan konstitusi ada untuk membentuk karakter. Dengan kata lain, beragama adalah jaminan akan warga negara yang berkarakter.
Ketika seseorang berbicara mengenai pembentukan karakter, asumsinya adalah pembentukan sifat-sifat yang baik, bukan? Dengan memakai logika yang ditawarkan MK, tidakkah berarti dorongan untuk hidup beragama–konstitusi kita–telah gagal?
Dari 180 negara, Indonesia berada di peringkat 115 dalam Corruption Perceptions Index 2023 yang diterbitkan oleh dengan skor 34/100. Satu dekade sebelumnya, Indonesia memperoleh skor yang tak jauh beda, hanya 32/100.
Digital Civility Index milik Microsoft yang mengukur tingkat kesopanan netizen pada memberi Indonesia skor 67/100. Jangan senang dulu; dalam indeks ini, semakin tinggi skornya berarti semakin tinggi bahaya pergaulan online yang ditemukan alias semakin tidak sopan netizen di negara yang bersangkutan. Dan untuk tahun , skor Indonesia naik menjadi 76/100. Angka tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat 29 dari 32 negara yang disurvei sekaligus peringkat terburuk dalam grup Asia-Pasifik.
Kecuali persepsi akan baik dan buruk telah terbalik, dua ilustrasi di atas tidak mencerminkan pertumbuhan karakter. Tidak perlu jauh-jauh pula sebenarnya untuk melihat bagaimana agama rupanya bukan jaminan untuk menciptakan komunitas yang harmonis; cukup perhatikan saja sekelilingmu! Kebencian, diskriminasi, dan konflik sosial semakin marak dan tak sedikit dari hal-hal tersebut yang lahir atas nama agama.
Agama. Agama telah memberi harapan pada orang-orang di dunia yang terpecah belah oleh agama.
— Jon Stewart, penulis dan artis Amerika Serikat
Lantas, apa yang salah? Jika memang beragama justru melahirkan konflik, apakah hidup beragama masih perlu dipertahankan? Apa yang membuat agama masih penting dan relevan di era yang telah dibanjiri oleh sains, media sosial, kecerdasan buatan, dan berbagai teknologi lainnya?
Lebih lanjut dalam tulisan ini, kita akan mendiskusikan secara terbuka pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Apa sebenarnya agama itu?
Sama halnya dengan bagaimana tulisan ini dimulai, mari membahas mulai dari hal yang paling dasar, yaitu definisi. Agama adalah …
- Menurut KBBI: ajaran, sistem yang mengatur tata kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan lingkungannya.
- Menurut kamus bahasa Inggris: kepercayaan akan sebab, sifat, dan tujuan dari alam semesta, terutama ketika dilihat sebagai ciptaan dari sesosok atau sekumpulan sosok yang lebih tinggi dari manusia, yang biasanya melibatkan kepatuhan dalam bentuk ritual atau kebaktian dan mengandung moral yang mengatur kehidupan manusia.
Ringkasnya, agama dicirikan oleh tiga hal:
- Kepercayaan akan eksistensi yang lebih tinggi dari manusia.
- Ritual pemujaan yang ditujukan pada eksistensi tersebut.
- Seperangkat moral yang mengatur kehidupan.
Dalam dunia yang penuh penderitaan, percaya akan adanya eksistensi yang lebih tinggi kurang lebih adalah kebutuhan spiritual. Kebanyakan dari kita memerlukan adanya jaminan bahwa semua rasa cemas, takut, dan putus asa yang kita rasakan pagi dan malam adalah bagian dari rencana besar yang dibuat oleh para sosok surgawi–bahwa emosi-emosi tersebut tidak sia-sia belaka.
Adapun untuk ritual-ritual pemujaan, kita, manusia, adalah makhluk yang ekspresif. Kita suka meluapkan segala emosi yang kita rasakan, baik itu yang berakar dari kebahagiaan maupun kesedihan. Ritual keagamaan menjadi media kita menyampaikan perasaan itu pada sosok agung yang kita percaya mengatur segala sesuatu yang terjadi di dunia.
Selain itu, kita semua turut menikmati semarak perayaan (dan hari libur nasional) yang mengikuti ritual keagamaan tanpa peduli agama apa yang punya acara. Tidak perlu menjadi seorang Buddhis untuk bisa melihat festival lampion di Candi Borobudur saat Waisak, atau Muslim untuk heboh belanja takjil kala bulan puasa, atau Kristen untuk foto dengan Santa Claus pada momen Natal.
Adalah ciri ke-3 dari agama yang seringkali menjadi sumber perpecahan dan pertikaian. Atau lebih tepatnya, moral kehidupan beragama digunakan sebagai alat untuk menimbulkan masalah.
Bagaimana maksudnya?
Moral yang tanpa kompromi
Tiap negara punya hukumnya masing-masing; tiap keluarga bahkan punya aturannya sendiri. Perbedaan ini, akan tetapi, jarang menimbulkan konflik yang sedemikian kompleks layaknya yang ditimbulkan oleh perbedaan aturan atau moral dalam agama-agama yang berbeda. Kenapa?
Layaknya hukum, moral keagamaan tidak luput dari pelanggaran. Dan pelanggaran tentunya tidak lepas dari pemberian hukuman. Hanya saja, pemberi hukuman bagi pelanggar moral keagamaan adalah Dewa/Dewi atau Tuhan yang kita percayai memiliki kuasa penuh atas dunia. Penalti yang diberikan jauh lebih berat dan menakutkan daripada hukuman apapun yang bisa diberikan manusia.
Kita semua tumbuh besar mendengarkan ‘ancaman’ akan neraka yang menunggu setelah kematian apabila kita tidak hidup menurut aturan yang sudah ditetapkan Tuhan melalui agama. Cerita Nabi Nuh pun dikenal tidak hanya oleh mereka yang memeluk agama Abrahamik.
Ketika kita melanggar hukum, bahkan ketika kita sudah jelas-jelas bersalah pun, kita masih diperbolehkan membela diri dan menegosiasikan bentuk hukuman yang akan kita terima. Keuntungan ini tidak kita dapatkan ketika kita berhadapan dengan pengadilan surgawi (atau setidaknya begitulah yang kita duga dan percaya).
Dan seperti yang bisa kita simak dalam kisah Nabi Nuh, hukuman surgawi bisa dibilang cenderung tidak pandang bulu. Coba saja kita berimajinasi dengan logika! Tidakkah terbesit dalam pikiran kalian bahwa mungkin saja tidak semua manusia yang binasa dalam air bah sebegitu berdosa hingga tidak bisa diampuni? Apakah hanya satu keluarga saja yang benar-benar layak untuk diselamatkan?
Semua yang telah kita dengar akan moral keagamaan pada akhirnya mengarahkan kita pada satu kesimpulan: tiada ruang bagi kompromi.
Pewartaan, pemuridan, dan keinginan berpahala
Beberapa dari kalian mungkin sudah mengenal kosakata yang tersebut di atas dan mengerti apa yang akan dibahas berikutnya. Jadi, mohon diingat bahwa tulisan ini adalah diskusi terbuka; tidak ada niatan merendahkan pihak-pihak tertentu.
Agama-agama Abrahamik secara umum menggambarkan kepercayaannya sebagai ajaran universal yang perlu disebarkan. Kristen mengenal konsep , yaitu mengajak orang-orang agar percaya pada dan menjadi murid Yesus Kristus melalui pewartaan Injil. , ada pahala bagi mereka yang mengajak seseorang untuk menjadi Muslim (mualaf).
Konsep ini pada akarnya memiliki niat yang baik, yaitu mengajak sesama untuk percaya akan dan hidup menurut apa yang dirasa benar dan mulia oleh orang yang mengajak. Ajakan ini pada teorinya juga bukan paksaan. Hal ini sama seperti ketika kita merekomendasikan makanan yang enak dan murah pada teman; kita melakukannya karena kita rasa itu adalah hal yang baik untuk dilakukan dan teman kita juga akan menjadi senang.
Tapi, pada akhirnya memang tidak ada yang bisa berjalan sempurna ketika ego manusia terlibat. Umat dari suatu agama melihat komunitas lainnya sebagai pendosa yang perlu diselamatkan; mereka lantas gigih berusaha mengoreksi situasi tersebut sebagai ungkapan kesetiaan pada Tuhan dan juga agar mereka memperoleh kepuasan serta penghargaan batin.
Selain itu, semakin banyak yang terajak, komunitas keagamaan juga akan semakin bertumbuh. Pada akhirnya, komunitas yang besar mendatangkan kekuasaan dan pengaruh sosial.
Perang untuk dominansi dan kontrol
Berceceran dalam sejarah manusia contoh-contoh ketika agama menjadi alat untuk mengumpulkan kekuasaan. Contoh yang paling dikenal oleh Indonesia bisa dilihat bahkan dalam buku IPS atau sejarah tingkat SD dan SMP. Kolonialisme Eropa dimulai dari penjelajahan samudera pada abad ke-15 yang semangatnya terangkum sebagai 3G: Gold (mencari kekayaan), Glory (mencari kejayaan), dan Gospel (menyebarkan agama Kristen).
Pada masa yang lebih silam, selama 200 tahun (1095–1291) berlangsung rangkaian konflik yang kini dikenal dengan nama . Bisa kalian tebak sendiri, periode ini lahir untuk mempertahankan dominansi Kristen dari perkembangan Islam di Eropa dan merebut kembali kota Yerusalem.
Terdengar tidak asing, kah? Ya, konflik Israel-Palestina lahir dari hal yang sama: kontrol akan . Kota ini adalah tempat suci untuk Muslim, Yahudi, dan Kristen. Jadi, jangan lelah menunggu konflik tersebut berakhir karena jatung dari sengketa ini memang sudah setua itu.
Bagi mereka yang duduk di kursi kekuasaan, agama adalah tameng yang melegalkan posisi mereka. Pada berbagai kisah dan catatan sejarah, raja dan kaisar menyebut diri mereka sebagai utusan surgawi. Para bahkan dinobatkan sebagai Dewa ketika mereka meninggal, suatu tradisi yang dimulai sejak kematian Julius Caesar.
Di zaman modern, bisa dilihat bagaimana tameng ini bahkan lebih kuat dari senjata nuklir. Pakistan adalah satu-satunya negara Muslim yang memiliki bom nuklir. Jika melihat dari segi kekuatan militer, Pakistan seharusnya memiliki pengaruh besar dalam komunitas negara Muslim. Akan tetapi, Arab Saudi selaku penjaga kota suci Mekkah-lah yang dianggap sebagai pemimpin de facto bangsa-bangsa Muslim saat ini.
Bagaimana kemudian moral keagamaan menjadi masalah?
Coba saja kita rangkum agar mudah dipahami:
- Moral dan hukum yang berasal dari agama cenderung bersifat absolut, tanpa kompromi.
- Beberapa agama memiliki doktrin yang mendorong umatnya untuk mewartakan apa yang mereka percayai dengan tujuan agar semakin banyak orang yang bergabung dalam agama yang bersangkutan.
- Semakin besar suatu agama, semakin besar pula pengaruh sosial yang dimiliki dan pengaruh ini dapat menjadi alat kekuasaan bagi penguasa.
- Penguasa kemudian mengimplementasikan moral keagamaan dari kelompok mayoritas dalam hukum negara demi mengamankan posisi serta agar disukai oleh masyarakat. Apalagi ketika penguasa tersebut juga berasal dari kelompok mayoritas, maka ia secara pribadi (bisa jadi) akan tergerak pula oleh poin ke-2 dalam tindakannya.
- Kelompok agama minoritas, termasuk juga kelompok yang sebenarnya tidak memiliki agama/kepercayaan, merasa tidak nyaman karena harus mengikuti hukum yang tidak selaras dengan apa yang mereka yakini.
- Ketidaknyamanan ini sulit untuk diatasi karena norma agama kelompok mayoritas telah menyatu dengan norma dan budaya bangsanya.
- Kelompok agama mayoritas yang baik-baik saja dengan kondisi yang ada merasa tidak nyaman dengan kelompok minoritas yang terlihat menyimpang dari norma sosial dan hukum negara.
- Muncul deh konflik sosial!
Sekarang apakah kalian melihat sumber masalahnya?
Sebagian dari kalian akan berpendapat bahwa masalah mulai muncul pada poin ke-3 yang berakibat pada penerapan hukum masyarakat yang hanya mengakomodasi kelompok tertentu. Lagi pula, bukankah agama sejatinya adalah urusan pribadi tiap individu dengan Tuhan? Kenapa lantas agama diatur dalam hukum yang mengatur urusan bermasyarakat?
Pendapat di atas memang tidak salah tapi dapat mudah dibantah. Seperti yang kita lihat pada arti dari agama itu sendiri, agama salah satunya adalah tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia. Agama juga mengatur tata cara bermasyarakat, jadi gak salah dong kalau sekalian dijadikan hukum bermasyarakat oleh negara!
Sebagian yang lain akan berpendapat bahwa sumber masalah justru ada di poin ke-2 ketika ego manusia pertama kali mulai campur tangan dalam moral agama; ketika sesuatu yang seharusnya sukarela diubah menjadi paksaan demi memuaskan keinginan spiritual sendiri. Inilah yang juga penulis rasa menjadi akar masalah ini.
Agama pada dasarnya pasti berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hanya ada satu Tuhan Yang Maha Esa dalam Kristen dan Islam, sedangkan ada berbagai Dewa dan Dewi dalam Hindu; sapi menjadi salah satu hewan kurban dalam perayaan Idul Adha, padahal sapi disucikan dalam Hindu dan penghilangan nyawa hewan untuk alasan spiritual apapun dipandang tidak baik dalam Buddha.
Perbedaan antar agama tidak akan pernah habis apabila terus dicari. Mencari perbedaan-perbedaan tersebut pun justru semakin menimbulkan rasa tidak suka dan bahkan benci. Lebih-lebih, moral agama terkadang mengatur hal-hal yang paling mendasar seperti apa yang boleh dimakan dan siapa yang boleh dicintai dan dinikahi oleh seseorang.
Mereka yang takut akan perubahan dan ketidakpastian yang mengikutinya akan dengan mudah membenci agama lain untuk tiap perbedaan kecil yang ada dengan agamanya. Dan mereka itu adalah kita kebanyakan juga; memang sudah menjadi naluri manusia untuk takut akan sesuatu yang tidak pasti dan mudah berubah. Kenapa?
Kita terkadang mencintai sesuatu terlalu dalam dan tidak ikhlas ketika sesuatu tersebut berubah atau hilang. Rasa benci akan perubahan pun menjadi jawaban kita. Dan apa sih yang membawa perubahan kalau bukan karena ada sesuatu yang berbeda, karena ada perbedaan yang kemudian menjadi bahan pertimbangan baru tentang bagaimana dunia seharusnya dijalani? Benar, tidak?
Selengkapnya mengenai bagaimana kebencian terbentuk, bisa membaca:
Lebih baik bila kita melihat agama-agama karena kesamaan yang mereka miliki. Ambil saja contoh-contoh yang simpel seperti bahwa semua agama sama-sama mengajarkan untuk tidak mencuri, tidak berkata bohong, tidak membunuh sesama, dan lain sebagainya.
Kasih sayang adalah inti dari Islam dan Buddha dan Yahudi dan Kristen. Mereka pada dasarnya sama.
— Karen Armstrong, penulis Britania Raya
Jadi, apakah masih penting hidup beragama?
Ya dan tidak!
Umat manusia saat ini belum memiliki alternatif lain selain dari konsep agama untuk menjaga ketertiban dan kedamaian. Ada agama saja masih suka perang dan saling membunuh dan merusak lingkungan, kan?
Pada skala yang lebih kecil–skala individu–hidup beragama masih penting agar kita bisa tabah menjalani hidup yang penuh sengsara ini. Setidaknya, meski bisa jadi Tuhan atau Dewa/Dewi itu tidak ada, rasa percaya bahwa hidup kita memiliki arti dan ada kebahagiaan yang sudah disiapkan untuk kita di masa depan dapat memberi kita harapan dan semangat.
Dan kalaupun ternyata benar Tuhan dan Dewa/Dewi itu tidak ada, apakah sia-sia hidup beragama? Toh gak dapat reward apa-apa! Tanyakanlah pada diri sendiri, “Apakah kebahagiaan yang aku bagikan pada sesama selama aku hidup dengan moral yang baik itu adalah sia-sia?”
Bagi yang tak memiliki agama atau kepercayaan apapun, tidak penting memang hidup beragama selama mereka bisa menganggukkan kepala ketika mereka bertanya ke diri sendiri, “Apakah cara hidupku sekarang meringankan penderitaanku di dunia ini? Apakah cara hidupku sekarang benar tidak membawa kerugian bagi orang lain?”
Semua agama harus ditoleransi … karena tiap manusia perlu mencapai surga dengan caranya masing-masing.
— Epictetus, filsuf Yunani pada abad ke-1
Suka dengan artikel ini? Coba baca juga:
Jangan lupa tinggalkan claps (tepukan) atau komentar dan bagikan bacaan ini ke orang-orang tercinta! Semoga senantiasa berbahagia!